Pendidikan
Pengalaman di Bulan Ramadhan
Natasha baru masuk Islam pada Januari 2011 lalu. Awalnya, perempuan asal Slovakia itu tidak merasa penting untuk berbagi cerita tentang keputusannya memeluk Islam. Tapi ia menyadari, bahwa ia sendiri mendapatkan banyak manfaat dari para mualaf lainnya yang mau berbagi pengalaman dan cerita tentang keislaman mereka. Natasha berharap, pengalaman yang akan ia bagi ini akan memberikan manfaat juga bagi orang lain, dan memberi inspirasi bagi mereka yang belum memeluk Islam, agar menemukan jalan kebenaran seperti jalan yang telah Natasha temukan sekarang, yaitu jalan Islam.
Natasha berasal dari keluarga Katolik di Slovakia, sebuah negara di Eropa Tengah yang penduduknya mayoritas memeluk agama Kristen, baik Kristen Protestan, Katolik, Kristen Ortodoks dan beberapa aliran dalam Kristen lainnya, sedangkan agama Islam tidak populer dan tidak begitu dikenal oleh masyarakat negaranya.
Namun Natasha mengakui bahwa ia memeluk agama Katolik, karena kedua orang tuanya Katolik. Ia memang rajin ke gereja setiap minggu dan belajar agama Katolik di sekolahnya, tapi ia tidak pernah benar-benar menghayati ajaran agamanya.
Ketika menginjak usia 16 tahun, Natasha baru berpikir tentang dirinya sendiri dan mempertanyakan tentang keyakinan agamanya. Ia tidak lagi bisa menerima doktrin “Begitulah semuanya terjadi, terima saja!” seperti yang ditekankan oleh ajaran Kristen Katolik yang dianutnya.
Ia ingat, sering menanyakan pada ibunya tentang banyak hal yang disampaikan para pendeta dalam khutbahnya seusai misa yang dihadirinya. Dalam banyak kesempatan, memang ada khutbah yang isinya bagus dan si pendeta berusaha memberikan arah kehidupan bagi para jamaahnya. Tapi Natasha merasa seperti seorang budak yang tidak punya keinginan sendiri. Ia menyadari, tak ada manusia yang sempurna dan manusia membutuhkan bimbingan. Tapi yang tidak dimengerti Natasha, mengapa seorang pendeta, yang juga manusia seperti dirinya dan bisa berbuat salah, bisa mendapatkan banyak otoritas.
“Waktu itu, tentu saja saya menghormati para pendeta dan ajaran Katolik dengan tradisinya yang sudah ada sejak lama, dan yang pasti karena keluarga saya Katolik. Tapi saya merasa itu saja tidak cukup. Saya melihat agama katolik hanya sebagai obyek tak berharga yang dibungkus dengan pembungkus yang indah. Saya mohon maaf pada umat Kristiani yang mungkin tersinggung oleh pernyataan ini, saya juga mengungkapkan apa yang saya rasalah. Ajaran Kristen mungkin memperkaya orang lain secara spiritual, tapi buat saya tidak,” tutur Natasha.
Perlahan-lahan ia mulai menjaga jarak dari agama Katolik. Natasha tidak lagi ke gereja, tidak lagi berdoa dengan cara orang Kristen berdoa, meski ia masih tetap “bicara” pada Tuhan. “Ayah saya bukan seorang lelaki yang religius, tapi ia menyerap beragam ideologi, agama dan opini pribadinya sendiri. Maka saya pun mulai melakukan pencarian sendiri, pencarian tentang tujuan hidup ini dan prinsip-prinsip yang membawa manfaat buat saya dalam menjalani kehidupan ini,” ujar Natasha.
Menurutnya, setiap orang mendengar panggilan dari lubuk hatinya yang terdalam pas sesuatu yang lebih tinggi dan lebih spiritual. Manusia, kata Natasha, dianugerahi intelijensia yang besar dan hawa nafsu yang bisa membuat manusia melupakan hal-hal penting. Misalnya bahwa “manusia akan pergi ke dunia yang lain” dan mereka akan tahu bahwa harta kekayaan tidak penting, dibandingkan teman-teman yang baik dan hubungan yang baik dengan mereka.
“Saya merasakan kehidupan saya sebelumnya sangat kosong, tanpa arah. Ketika Anda berkunjung ke negara lain, Anda melihat peta untuk mengetahui tempat-tempat menarik yang bisa didatangi. Jarang dari kita yang pergi tanpa tahu ke mana arah yang akan dituju. Hal yang sama berlaku pada hidup kita. Jika hidup kita aalah sebuah perjalanan besar, kita membutuhkan petunjuk arah dan kita harus tahu apa yang akan kita jumpai di akhir perjalanan nanti,” kata Natasha.
“Saya merasa bahagia merasakan hal ini, karena membuat hati saya terbuka. Saya jadi terbuka pada opini dan ide-ide baru. Saya ingin mencoba apa saja yang menurut saya masuk akal. Saya pergi ke India, dan saya tahu tentang Hindu dan Islam,” sambungnya.
Sampai akhirnya Natasha berkesempatan datang ke Indonesia dan banyak berdiskusi dengan beberapa muslimah yang menjadi teman sekamarnya. Sebagai non-Muslim dari Eropa, Natasha mengakui bahwa ia sedikit terpengaruh dengan propaganda anti-Islam. Ia masih mengingat cerita tentang perempuan-perempuan muslim yang diperlakukan dengan tidak baik oleh suami mereka, para teroris yang oleh media seringkali diidentikkan dengan musim, dan ia berpikir bahwa rata-rata muslim sangat gampang dicuci otak agar mau membunuh orang lain atas nama agama mereka.
Tapi sikap Natasha yang terbuka, membuatnya mudah untuk menerima pengetahuan yang baru. Ia mulai merasa mendapat pencerahan tentang Islam dan Muslim pada saat bulan Ramadan. Natasha tinggal bersama sebuah keluarga muslim, ia ikut berpuasa dan mulai belajar tentang dirinya sendiri. Ia pun menyadari betapa pentingnya sikap disiplin untuk mencapai apa yang ia inginkan dalam hidup ini.
“Saya juga menyadari, betapa pentingnya untuk tidak menjadi budak dari hal-hal yang sifatnya materialistis. Saat berpuasa, saya harus mengendalikan hawa nafsu dan emosi, yang ternyata jauh lebih berat dibandingkan menahan lapar dan haus. Saya mulai melihat dunia ini dari perspektif yang berbeda. Tiba-tiba saja, hal-hal yang berhubungan dengan kebendaan jadi terlihat tidak begitu penting. Tapi yang penting adalah hubungan antara manusia, memperlakukan orang lain dengan baik dan saling tolong menolong,” tutur Natasha.
Masa-masa itulah yang membuat Natasha seperti “bangun dari tidur”. Ia merasa senang dan bahagia meski ia lapar dan haus. Apalagi sebulan sebelum datangnya bulan Ramadan, Natasha berpikir bahwa tidak makan dan minum adalah sesuatu yang gila. Tapi selama menjalani Ramadan, Natasha melakukan pencarian jiwa untuk menemukan agama yang benar. Pada titik ini, ia membaca kembali Alkitab yang sudah lama ditinggalkannya.
“Dalam kekritenan, kami tidak membaca Alkitab. Yang saya maksud tidak membaca, kami hanya membaca beberapa bagian saja di gereja atau dalam kelas mata pelajaran agama, tapi tidak pernah secara sungguh-sungguh duduk dan membaca maknanya. Di saat saya mulai membaca Alkitab lagi, saya jadi tahu mengapa para pendeta tidak mendorong kami untuk membacanya. Isinya banyak yang bertentangan dengan apa yang saya pahami. Saya tidak akan menceritakannya dengan detil, karena sudah banyak cerita tentang kontradiksi ini, Anda bisa menemukan penjelasannya di mana-mana, termasuk dari internet,” papar Natasha.
Itulah momen ketika Natasha akhirnya memutuskan untuk pindah ke agama Islam. “Tepatnya ketika saya menemukan banyak pernyataan dari para ilmuwan yang ternyata sudah ada dalam Al-Quran. Jadi, sangat absurd berpikir bahwa Nabi Muhammad Saw. mengetahui semua hal tanpa campur tangan sebuah kekuatan yang Maha Mulia. Nabi Muhammad seorang yang buta huruf! Ilmu pengetahuan itu sendiri sebelumnya bahkan tidak akurat, jadi tidak bisa dibilang bahwa Nabi Muhammad Saw menjiplak apa yang ada di Quran dari perkembangan ilmu pengetahuan yang sekarang berkembang,” tukas Natasha.
Ia melanjutkan, “Jika Anda percaya bahwa dunia ini ada yang menciptakan, tidak susah buat Anda untuk menerima fakta bahwa hanya ada satu Tuhan, satu Sang Pencipta dan Dia menurunkan pengetahuannya itu pada utusan-Nya. Itulah yang kita kenal dengan kalimat syahadat, salah satu pilar Islam ”
“Maka, setelah saya menyadari itu semua, saya yakin bahwa saya tidak bisa mundur lagi ke belakang. Jika kita mencari sesuatu dan kita berdoa untuk pencarian itu, kita tidak bisa pergi begitu saja ketika sudah menemukan apa yang kita cari,” tukasnya.
Natasha bersyukur pada Allah Swt, yang telah membuka mata dan hatinya sehingga bisa menemuka jalan yang benar. Ia juga berharap orang lain yang belum menjadi muslim, juga akan menemukan jalan yang sama. “Menjadi seorang muslim penuh tantangan, tapi tantangan itu menyempurnakan kita. Saya tidak takut lagi dengan banyak hal yang dulu saya takuti. Saya menyandarkan kepercayaan saya pada Tuhan,” ujarnya.
Sejak masuk Islam, Natasha mengaku menjadi manusia yang lebih disiplin. Ia yakin, dirinya bukan satu-satunya yang merasakan kedamaian dan keindahan Islam. “Insya Allah lebih banyak lagi orang yang menemukan jalan kebenaran Islam dan mereka berani untuk hidup sesuai dengan tuntutan Islam,” tandasnya. (TROI)
Sumber Eramuslim
Via
Pendidikan
Post a Comment