Cerpen
Pemandi Jenazah Covid-19
PEMANDI JENAZAH
29. Memenuhi Kuota
"Tok tok tok!" suara ketukan pintu dari Sahroji menghentikan kesibukan dokter Sunyoto dari tumpukan berkas yang menggunung.
"Masuk!"
Segeralah masuk Sahroji dengan senyum tersungging. Didekatinya meja kerja dokter senior itu dengan gembira. Sementara dokter tua itu sama sekali tak menanggapi senyum Sahroji. Tatapannya dingin dan datar saja.
"Bagaimana dok?" tanya Sahroji.
"Duduk!"
Segera setelah Sahroji duduk di tempatnya, dokter Sunyoto menuliskan sesuatu pada secarik kertas. Nampaknya sesuatu yang sangat penting.
Sahroji mengambil dan membacanya. Sekilas kemudian dia tersenyum.
"Bagaimana? Sanggup?" tanya dokter Sunyoto singkat.
"Butuh lima lagi dok? Buat kapan?"
"Paling lambat dua Minggu dari sekarang. Bagaimana?"
Terlihat Sahroji diam sesaat, sebelum berujar,
"Oke dok. Saya usahakan."
Tampak dokter Sunyoto mengernyitkan kening.
"Kamu sanggup atau tidak? Kalau tidak biar ku oper pada orang lain." tanya dokter Sunyoto menegaskan. Beliau memang tipe orang yang menyukai kepastian. Tak ada garis abu-abu baginya. Hanya ya atau tidak.
"Sanggup dok." ujar Sahroji menegaskan.
Dibacanya sekali lagi.
"Jadi diusahakan harus ada lima ya dok. Dua dewasa laki-laki, dan dua dewasa wanita. Satu anak-anak."
"Ya. Tepat sesuai yang tertulis disana." ucap dokter itu perlahan.
Sahroji manggut-manggut seraya memikirkan bagaimana harus memenuhi target.
"Oh iya, sampai saat ini kita sudah punya berapa stok?" tanya dokter.
Sesaat tampak Sahroji berpikir, sebelum berucap.
"Untuk yang saya usahakan sudah ada tiga dok. Tapi sepertinya usianya terlalu tua. Mungkin tidak cocok jika harus sesuai permintaan."
"Baiklah. Saya percayakan sepenuhnya padamu." ucap dokter tua itu ditanggapi satu senyum tipis Sahroji.
"Baik dok. Saya mohon pamit." ujarnya seraya mengangkat pantat dan siap beranjak pergi.
"Tunggu dulu!"
Sejenak Sahroji berhenti, dan menoleh.
"Hati-hati! Jangan sampai menimbulkan kecurigaan."
Dibukanya buku arsip. Dan diserahkan sebuah lembaran kertas.
"Seratus juta rupiah." dibacanya oleh Sahroji pelan bukti transfer atas namanya.
"A...apa ini dok?" tanya Sahroji keheranan. Karena setahunya dia belum memenuhi sampai sebesar itu.
"Itu bayaran untuk sepuluh kadaver pertama."
"Bukankah saya baru mendapatkan tiga dok?" Sahroji keheranan.
"Ya. Berarti kau tinggal memenuhi kuota tujuh lagi agar yang itu impas bukan?" balas dokter Sunyoto cepat.
"Bukankah kau tempo hari mengatakan akan kebutuhan sejumlah uang? agar bisa melunasi hutangmu?"
"Ah, iya. Hampir saja saya lupa," gumamku.
"Baik dok. Terima kasih banyak."
"Saya pamit." ucap Sahroji yang diiyakan oleh dokter tua itu.
---
Sahroji tersenyum tipis sembari keluar dari ruangan itu. Diingat-ingat nya, sudah beberapa kali orderan dokter Sunyoto selalu berhasil dijalaninya. Memang belum terlalu banyak sih. Tapi setidaknya uang yang sudah diterimanya ini cukuplah untuk membuatnya semakin semangat mencari mangsa.
"Tinggal tujuh lagi." gumamnya seraya menikmati secangkir kopi di kantin rumah sakit.
Diaduknya kopi perlahan seraya menikmati sejuknya udara dari samping kantin.
"Hmmmmm.... Tak terasa sudah tujuh tahun aku disini." gumamnya pelan seraya melihat sekeliling.
Banyak perubahan sudah terjadi. Dari bangunan yang dulu kuno kurang terawat hingga kini tampak megah. Begitu juga dari areanya yang dulu tampak gersang kini terlihat lebih indah.
Iseng-iseng ditatapnya mbak penjual kantin yang selalu saja salah tingkah jika diperhatikannya. Tak tahu apa sebabnya. Hanya saja, jika menatapnya selalu saja mengingatkannya pada bayangan Nuraeni. Entah kenapa hatinya susah sekali untuk dipalingkan darinya, meski kini ia tahu bahwa Nuraeninya telah menjadi milik orang lain.
"Hei! Ngelamun aja dari tadi. Sudah jam berapa ini?" mendadak lamunan Sahroji terbangun kan oleh tepukan Badrun di punggungnya.
"Oh iya. Yuk kerja lagi. Masih banyak kerjaan." ucapnya seraya bergegas bangkit menuju mbak-mbak kantinnya.
"Mbak. Sekalian sama temanku ya." ucap Sahroji seraya mengulurkan selembar uang merah.
"Waduh Mas.....kembaliannya lagi habis je. Ada uang pas saja?" tanya mbaknya dengan salah tingkah karena merasa diperhatikannya Sahroji.
"Kalau gitu tambah itu aja mbak. Itu roti tawar kan ya? Saya ambil lima bungkus sekalian."
"Ya sudah mbak. Ambil saja kembaliannya. Saya masih banyak." ucap Sahroji singkat, seraya mengerlingkan mata.
"Ah, ya sudah Mas. Makasih banyak Yo...." ucap mbaknya senang.
"Ji. Kamu beli roti sebanyak itu buat apa?" tanya Badrun keheranan. Karena setahunya Sahroji memang tinggal hanya berdua dengan simboknya.
"Oh, ini? Buat nanti dibagikan sama anak jalanan Drun. Itung-itung amal lah. Kapan lagi kan kalau bukan sekarang?" ucap Sahroji seraya tersenyum.
Sementara Badrun tampak manggut-manggut, Sahroni tersenyum senang membayangkan bisa membagi-bagikan makanan ini kepada yang membutuhkan.
---
"Drun. Aku jalan duluan Yo. Mau muter-muter dulu di pasar." ucap Sahroji seraya menjalankan motornya. Sementara Badrun masih sibuk dengan sedikit urusannya dengan beberapa petugas rumah sakit.
Pelan disusurinya jalanan yang tampak lengang oleh kendaraan. Hanya sesekali saja tampak lampu motor menyorot dari ujung sana, dan setelahnya kembali gelap. Memang lampu jalanan sudah terpasang, namun karena jaraknya yang terlalu jauh, juga letaknya yang terlalu tinggi hingga mengurangi efektivitas lampu itu sendiri.
Selagi dia asik dengan motornya, tiba-tiba nampak sesosok bayangan hitam melintas. Hampir saja dia menabrak sosok itu, jika tak buru-buru ditekannya rem mendadak.
"Ciiiiiit!"
Sontak Sahroji mengerem motornya. Dan dilihatnya sesosok anak kecil bertelanjang dada nampak berdiri lesu. Tak kurang dari setengah meter di depannya. Matanya menyiratkan ketakutan.
Sahroji tengok kanan kiri. Dilihatnya tak ada orang lain.
"Anak siapa ini malam-malam begini masih di jalanan?" gumamnya pelan.
"Kamu ndak papa to dek?" tanya Sahroji pelan, dan dijawab hanya dengan gelengan.
"Lalu, kenapa malam-malam begini kamu masih di jalanan? Orang tuamu dimana?" tanyanya kemudian.
Lalu anak kecil itu menceritakan bahwa ia dipaksa ayah tirinya untuk mengamen, dan tidak boleh pulang sebelum membawa hasil. Sedangkan ia sendiri bingung, kemana ia harus mengamen, sedangkan hari sudah terlanjur malam.
"Ya sudah dek. Ini ada sedikit oleh-oleh buat kamu. Ini sudah malam. Kamu pulang saja ya. Bahaya malam-malam begini di jalanan." ujar Sahroni lembut.
Sosok bocah kecil itu tampak bahagia menerima pemberian Sahroji. Sesaat ditimang-timangnya roti itu seraya berkali-kali mengucapkan terima kasih.
"Oh iya. Ini kami berikan pada ayah tirimu ya." ucap Sahroji seraya menyelipkan beberapa lembar uang pada tangan mungil itu.
"Terima kasih banyak ya Om. Terima kasih." ucap anak kecil itu seraya berlari-larian gembira pulang.
---
Sementara sosok anak kecil itu berlalu pergi, Sahroji masih tampak diam. Sepertinya merencanakan sesuatu.
"Hmmmm.... masih ada sisa empat bungkus roti lagi. Kemana akan kucari lagi?"gumamnya sebelum akhirnya kembali dihidupkan motornya dan kembali melaju pelan membelah jalanan malam.
"Ah, ya. Pak Danuri sepertinya cocok."
Dilajukannya sepeda motor pelan menuju alamat yang dituju. Namun, tak lama kemudian ia segera berhenti saat dilihatnya seorang wanita tua tampak kepayahan berdiri di tepi jalan. di punggungnya tampak terbeban sebuah bungkusan. Timbul iba dalam hatinya melihat wanita tua itu.
Segera setelah diserahkannya sebungkus roti dan beberapa lembar uang untuk meringankan beban wanita tua itu, ia pun kembali melaju, seraya beberapa kali berhenti dan memberikan oleh-olehnya pada orang yang disambanginya.
Via
Cerpen
Post a Comment