Politik
Pemimpin Dan Politik Uang Dalam Pandangan Islam
Kordiv Penyelesaian Sengketa Bawaslu Grobogan, Moh. Syahirul Alim.
Dalam kajian politik Islam (Siyasatul Islamiyah), memilih atau mengangkat pemimpin adalah suatu kewajiban. Ada sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, yang artinya,
“Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya” (HR Abu Dawud dari Abu Hurairah).
Dari hadist itu dapat dipahami, jika dalam jumlah kecil saja harus memilih pemimpin, apalagi yang berada dalam satu komunitas besar, misalnya kabupaten/kota, maka wajib memilih atau mengangkat pemimpin. Akan tetapi, kewajiban memilih pemimpin hanya untuk urusan yang dibenarkan oleh syariah.
Merujuk kepada hadist di atas, Frasa fî safar[in] (bepergian) menunjukkan, bahwa ketiga orang tersebut mempunyai urusan yang sama (umur musytarakah), yaitu hendak bepergian. Adapun bepergian itu hukum asalnya adalah mubah (dibenarkan syariah).
Dari frasa itu bisa diambil kesimpulan, dalam urusan yang mubah, mengangkat pemimpin hukumnya wajib, apalagi dalam perkara yang wajib, pasti lebih wajib lagi. Inilah mafhum muwafaqah yang bisa kita tarik dari hadist di atas.
Dalam Surat An-Nisa ayat 59, Allah SWT menyuruh kita untuk taat kepada pemimpin (ulil amri),
ÙŠَا Ø£َÙŠُّÙ‡َا الَّØ°ِينَ آمَÙ†ُوا Ø£َØ·ِيعُوا اللَّÙ‡َ ÙˆَØ£َØ·ِيعُوا الرَّسُولَ ÙˆَØ£ُولِÙŠ الأمْرِ Ù…ِÙ†ْÙƒُÙ…ْ
”Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta para pemimpin di antara kalian” (QS An-Nisa [4]: 59).
Ayat ini menjelaskan, menaati ulil amri hukumya adalah wajib. Ulil amri adalah orang yang mendapatkan mandat untuk memerintah rakyat. Namun, ayat ini tidak berlaku untuk ulil amri yang tidak menjalankan hukum-hukum Allah atau yang menyuruh kepada kemaksiatan. Pemimpin yang bersifat seperti ini tidak wajib ditaati.
Akan tetapi, yang ingin kita jelaskan dari teks ayat tersebut adalah adanya kewajiban untuk menaati pemimpin. Kalau menaati pemimpin hukumnya wajib, maka memilih atau mengangkat pemimpin hukumnya pun wajib.
Hal ini sesuai dengan kaidah hukum fikih yang artinya: “Segala sesuatu yang mana sebuah kewajiban tidak bisa sempurna kecuali dengan melakukannya, maka sesuatu tersebut wajib dikerjakan“
Contoh sederhana terhadap pemahaman kaidah fikih tersebut yaitu bahwa kewajiban salat tidak akan bisa terlaksana dengan sempurna kecuali dengan berwudu, maka berwudu hukumnya menjadi wajib.
Demikian pula, kita tidak akan bisa melaksanakan kewajiban untuk menaati pemimpin, kalau pemimpin itu tidak ada. Oleh karena itu, memilih atau mengangkat pemimpin juga menjadi suatu kewajiban.
Dalam konteks bernegara, kewajiban untuk memilih pemimpin telah ditegaskan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Komisi Fatwa MUI hasil Musyawarah Alim Ulama se-Indonesia di Padang Panjang Sumatera Barat Tahun 2009.
Adapun isi fatwa tersebut yaitu,
1. Pemilihan Umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
2. Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama.
3. Imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat.
4. Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif(tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.
5. Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 4 (empat) atau tidak memilih sama sekali, padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.
Berdasarkan uraian di atas, telah nyata bahwa memilih pemimpin hukumnya wajib. Seperti kita ketahui, di Indonesia akan berlangsung Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2020. Pilkada ini akan diikuti 270 daerah yang terdiri dari 9 provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten. Semula Pilkada serentak akan dilaksanakan pada 23 September 2020.
Namun, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan penundaan Pilkada 2020 karena meluasnya pandemi corona. Pemerintah dan DPR sepakat Pilkada akan dilaksanakan tanggal 9 Desember 2020. Untuk itu, sudah sepatutnya agar dalam Pilkada kita menggunakan hak pilih.
Namun ada hal penting yang harus diingat, dalam memilih pemimpin hendaknya jangan dikotori dengan praktek-praktek tercela, seperti politik uang. Dalam ajaran Islam, politik uang (riswah) hukumnya adalah haram dan sangat dibenci oleh Allah SWT.
Larangan riswah disebutkan dengan jelas dalam sebuah hadist yaitu,
عن ابْÙ† Ø£َبِÙŠ Ø°ِئْبٍ، عَÙ†ِ الْØَارِØ«ِ بْÙ†ِ عَبْدِ الرَّØْÙ…َÙ†ِ، عَÙ†ْ Ø£َبِÙŠ سَÙ„َÙ…َØ©َ، عَÙ†ْ عَبْدِ اللَّÙ‡ِ بْÙ†ِ عَÙ…ْرٍÙˆ،Ù‚َالَ: «Ù„َعَÙ†َ رَسُولُ اللَّÙ‡ِ صَÙ„َّÙ‰ اللهُ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„َّÙ…َ الرَّاشِÙŠ ÙˆَالْÙ…ُرْتَØ´ِÙŠ»
“Dari Ibni Abi Dzi’b, dari Al-Harits bin Abdirrahman, dari Abi Salamah, dari Abdillah bin ‘Amr, ia berkata: Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam melaknat orang yang menyuap dan orang yang disuap”.
Dalam versi lain, hadist di atas disebutkan redaksinya sebagai berikut:
عن Ø£َبي بَÙƒْرٍ ÙŠَعْÙ†ِÙŠ ابْÙ† عَÙŠَّاشٍ، عَÙ†ْ Ù„َÙŠْØ«ٍ، عَÙ†ْ Ø£َبِÙŠ الْØ®َØ·َّابِ، عَÙ†ْ Ø£َبِÙŠ زُرْعَØ©َ، عَÙ†ْ Ø«َÙˆْبَانَ Ù‚َالَ: ” Ù„َعَÙ†َ رَسُولُ اللهِ صَÙ„َّÙ‰ اللهُ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„َّÙ…َ الرَّاشِÙŠَ ÙˆَالْÙ…ُرْتَØ´ِÙŠَ ÙˆَالرَّائِØ´َ ” ÙŠَعْÙ†ِÙŠ: الَّØ°ِÙŠ ÙŠَÙ…ْØ´ِيبَÙŠْÙ†َÙ‡ُÙ…َا
“Dari Abi Bakr yaitu Ibni ‘Ayyasy, dari Laits, dari Abi Al-Khathab, dari Abi Zur’ah, dari Tsauban, ia berkata: Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam melaknat orang yang menyuap, yang disuap, dan orang yang menjadi perantara keduanya”.
Dari penjelasan hadist di atas dapat diartikan, yang dibenci Rasulullah tidak hanya pemberi dan penerima suap, tapi juga orang yang menjadi penghubung antara si pemberi dan si penerima suap.
Dalam konteks Pilkada 2020, siapa pun yang membagikan uang atau materi lainnya dengan tujuan untuk mempengaruhi pemilih agar memilih calon tertentu, sangat dilaknat oleh Allah dan Rasulnya. Perlu diketahui, praktek politik uang bisa terjadi dalam semua tahapan, seperti masa kampanye, hari tenang atau hari pemungutan suara.
Oleh karena itu, sebagai kaum muslim harus meninggalkan praktek tercela berupa politik uang. Segala bentuk suap menyuap dalam Pilkada 2020 sudah semestinya kita hentikan.
Dapat dikatakan, politik uang sekedar kenikmatan sekejap belaka. Uang yang diterima dari para oknum calon, misalnya senilai 50 atau 100 ribu paling hanya dapat dinikmati dalam waktu satu sampai dua hari. Akan tetapi, mudaratnya akan kita rasakan sampai lima tahun ke depan.
Calon yang terpilih melalui politik uang, pasti akan berpikir bagaimana agar biaya yang dikeluarkan bisa secepatnya kembali. Tindakan tidak terpuji seperti memakan uang negara/rakyat, sangat mungkin dilakukan untuk mengembalikan modal yang telah digunakan menyuap pemilih.
Seseorang yang menggunakan praktek politik uang, sudah pasti bukan pemimpin seperti yang diajarkan Islam. Calon pemimpin yang bertakwa dan amanah, tentu akan berkompetisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Dapat diambil kesimpulan, memilih pemimpin yang tidak beriman, tidak bertakwa, tidak jujur (siddiq), tidak terpercaya (amanah), tidak aktif dan aspiratif (tabligh), tidak mempunyai kemampuan (fathonah) serta tidak memperjuangkan kepentingan umat seperti dalam point nomor 5 fatwa MUI di atas, hukumnya adalah haram.
Sumber: Bawaslu Grobogan
Via
Politik
Post a Comment