Pajak Sembako dan Pendidikan, Wujud Kezaliman Negara
KUAMANGMEDIA.COM - Sesungguhnya, bukan hal yang aneh jika negeri ini kerap mewacanakan pemungutan pajak, bahkan mempropagandakan tentang “warga negara yang baik adalah yang taat pajak”. Negeri yang menganut sistem kapitalisme memang menjadikan pajak sebagai tumpuan sumber pemasukan kas negaranya.
Akan tetapi, ketika sembako, pendidikan, bahkan pelayanan kesehatan pun dipungut pajak, wajar jika hal ini menuai kontra hingga kecaman dari berbagai pihak. Mengapa? Karena sembako, pendidikan, dan layanan kesehatan merupakan kebutuhan pokok bagi rakyat. Kebutuhan yang seharusnya dijamin oleh negara, justru dipalak oleh negara.
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Peribahasa ini sepertinya tepat untuk menggambarkan kondisi rakyat Indonesia saat ini. Dampak dari pandemi Covid-19 sangat keras memukul perekonomian rakyat.
Ditengah perjuangan bergelut dengan kesulitan ekonomi, ternyata pemerintah malah akan menerapkan kebijakan pemungutan pajak penambaham nilai (PPN) sebesar 12% pada sejumlah barang dan jasa yang selama ini tidak dikenai pajak. Kondisi ini tentu akan semakin menambah berat penderitaan rakyat Indonesia.
Seperti yang telah diberitakan di Kumparan, Rabu 9 Juni 2021, pemerintah merencanakan akan mengenakan pajak penambahan nilai ( PPN) pada sejumlah barang dan jasa tertentu.
Untuk kategori barang, pemerintah akan mengenakan PPN pada kelompok bahan kebutuhan pokok atau sembako dan hasil pertambangan yang sebelumnya masih bebas pajak.
Sementara untuk kategori jasa, pemerintah akan mengenakan PPN pada 11 kelompok jasa, yang saat ini masih bebas PPN, salah satunya yaitu jasa pendidikan sekolah.
Pajak Sumber Pendapatan Utama di Indonesia
Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa negara kita Indonesia menganut sistem pemerintahan Kapitalisme yang diikuti dengan penerapan sistem ekonomi Kapitalis. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, pendapatan negara diperoleh Pemerintah dengan memberi wewenang ke Menteri Keuangan buat melakukan pemungutan sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang.
Sumber pendapatan negara prosentase terbesar bertumpu pada penerimaan pajak, sehingga pemerintah terus menyasar obyek- obyek yang akan dikenakan pajak.
Penerimaan pajak tahun 2020 diperkirakan 15 persen lebih rendah dari target APBN berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020. Dikutip dari Antara, Sabtu (26/12/2020), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan penerimaan pajak baru mencapai Rp 1.019,56 triliun atau 85,65 persen dari target sesuai Perpres 72 tahun 2020 sebesar Rp 1.198,8 triliun hingga 23 Desember 2020.
Berdasarkan hasil penerimaan pajak yang belum optimal dan kondisi APBN yang defisit, menyebabkan pemerintah mencari sumber-sumber obyek pajak yang dinilai akan mampu menambah pendapatan negara. Pemungutan pajak ini adalah cara paling mudah untuk mendapatkan dana segar untuk menutupi defisit anggaran negara serta membantu melunasi utang yang membengkak juga sebagai solusi menyelamatkan keuangan negara.
Pemungutan pajak pada sembako yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat tentu akan berdampak terhadap kehidupan masyarakat. PPN sebesar 12% tentu akan memicu kenaikan harga sembako.
Naiknya harga sembako akan menurunkan daya beli rakyat. Rakyat akan semakin kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pokok pangan bagi keluarganya.
Begitu juga dalam bidang pendidikan, jika pajak diberlakukan pendidikan, maka biaya pendidikan akan semakin tinggi, padahal pendidikan juga merupakan kebutuhan dan hak dasar bagi rakyat. Jika akibat pandemi Covid-16 dikabarkan banyak siswa putus sekolah karena tidak mampu mengikuti pembelajaran melalui daring karena ketidakmampuan menyediakan fasilitas yang menunjang, maka pemungutan pajak pada sekolah (pendidikan) juga akan berdampak pada semakin beratnya beban rakyat dalam upaya memenuhi kebutuhan pendidikan.
Kebijakan pajak yang menzalimi rakyat
Pemerintah sepertinya sudah kehilangan akal sehatnya dan hati nurani nya, sehingga begitu teganya terus menerus mengeluarkan kebijakan yang bukannya menyejahterakan rakyat tapi justru menindas dan mencekik rakyat kecil terus menjadi korban, dan menjadikan mereka semakin sulit mendapatkan kehidupan yang layak, cukup dan sejahtera.
Pemerintah seharusnya lebih peka dan peduli dengan kondisi rakyat, jika keadaan anggaran negara defisit, pemerintah bisa lebih kreatif dalam mencari peluang-peluang yang dapat menambah pemasukan kas negara tanpa mengorbankan rakyat.
Allah Subahanahu wa Ta'ala berfirman : Sesungguhnya, dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih. (QS Asy-syura: 42).
Rasulullah Saw. bersabda: Barangsiapa yang diserahi kepemimpinan terhadap urusan kaum muslimin namun ia menutup diri tidak mau tahu kebutuhan mereka dan kefakiran mereka, niscaya Allah tidak akan memperhatikan kebutuhannya dan kefakirannya di hari kiamat. (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Pajak dalam Islam
Islam telah menjadikan negara ( pemimpin ) berkewajiban untuk melayani kepentingan umat, termasuk pemeliharaan atas orang yang lemah. Imam Bukhori meriwayatkan dalam hadits dari Ibnu Umar Ra. Yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda : Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat. Dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya.
Agar bisa melaksanakan hal-hal yang diwajibkan oleh syariah, syariah telah memberikan aturan yang harus ditegakkan oleh negara.
Islam telah mensyariatkan adanya Baitul Mal sebagai pusat keuangan negara yang akan menjamin pemenuhan kebutuhan rakyat. Sumber pemasukan tetap Baitul mal adalah fa'i, ghanimah, Anfal, kharaj, jizyah dan pemasukan dari hak milik umum, baik dari hak milik negara, usyur, khumus, rikaz, tambang serta harta zakat.
Dari sumber harta tersebut, negara mengelolanya untuk kepentingan negara dan umat. Jika dari harta itu tidak cukup, maka negara mewajibkan pajak (dharibah) atas kaum muslimin.>/p>
Kewajiban pajak hanya dikenakan kepada orang- orang Muslim yang kaya saja, tidak dikenakan kepada seluruh rakyat dan tidak kepada non Muslim. Pungutan pajak dalam Islam juga tidak dilakukan secara terus-menerus. Jika kondisi Baitul mal sudah normal kembali, maka pajak dihentikan.
Tuntutan syariat Islam ini menggambarkan keadilan dalam Islam dengan tidak mendholimi rakyat. Wallahu alam bishowaab.
Post a Comment