Aku Menantu Bukan Pembantu Bag 1
Aku Menantu Bukan Pembantu
Sebuah kecelakaan membuat Bian dituntut menikahi Ajeng. Namun, sang Ibu mertua seakan tak pernah menganggapnya istri sang anak. Harusnya Bian bisa memilih wanita yang lebih baik dari Ajeng untuk menjadi istrinya. Pilihan yang sangat mengecewakan.
Tidak ada pilihan lain, Ajeng harus mundur dari kehidupan anak lelakinya. Tapi Ajeng tak mau semudah itu menyerah. Apa Ajeng bisa mempertahankan pernikahanya denga Bian? Atau sebaliknya?
Setelah turun dari mobil, Ajeng terus mengekor di belakang Bian. Seolah diatak ingin kesasar di rumah besar yang akan dimasukinya.
Sebagai gadis yang berasal dari kampung dan hanya tinggal di gubuk reot, membuat Ajeng takjub melihat rumah bak istana di hadapannya.
"Kamu bawa pembantu baru, Bian?" tanya Rita, sang ibu.
"Bukan, Mi. Dia Ajeng, dia--" Bian menjeda ucapannya.
"Dia siapa?" Rita bertanya lagi.
"Dia istriku, Mi."
Wajah Rita memerah mendengar penuturan Bian, anak sulungnya. Wanita paruh baya itu memindai penampilan Ajeng dari atas sampai bawah.
"Bian, kamu gila?"
"Mi, Bian bisa jelaskan."
"Ajeng, kamu tunggu di sini dulu," perintah Bian.
"Iya, Mas."
Bian mengajak sang ibu berbicara di ruang kerja, lalu membantunya duduk untuk mendengarkan penjelasannya.
Rita memijit pelipisnya saat mendengarkan penjelasan Bian. Beberapa kali dia mengumpat kesal melihat tanpilan Ajeng yang kampungan.
"Bian, kamu bertindak gegabah. Kenapa harus menikahinya?"
"Kalau nggak nikah sama dia, Mami mau aku masuk penjara? Banyak saksi yang melihat kejadian itu."
"Ah ... Mami nggak sudi punya menantu seperti itu. Bagaimana dengan rencana lamaran kamu untuk Meysia?"
Bian bergeming. Otaknya sekarang buntu, dia pun bingung harus berbuat apa karena secara tiba-tiba dia sudah menjadi seorang suami.
"Pikirkan itu nanti, Mi."
Lanjutkan baca : Aku Menantu Bukan Pembantu Bag 2
"Duh, kamu bikin Mami sakit kepala saja."
Setelah berbicara panjang lebar mereka kembali menemui Ajeng. Rita bersedekap menatap menantu yang tak diinginkannya. Sesekali dia menarik napas panjang, lalu nenggelengkan kepala.
"Siapa nama kamu?"
"Ajeng."
"Oalah, dari nama saja sudah kampungan. Ingat, ya, Ajeng, Bian menikahi kamu karena tanggungjawab. Jadi, jangan berpikir kamu diterima di rumah ini."
Ajeng hanya tertunduk lesu mendengar cercaan Ibu mertuanya. Dia pun tidak ingin di takdirkan seperti ini, Ajeng ingin ibunya kembali hidup.
Sesak menyelimuti dada gadis itu. Ajeng memindai wajah pria yang kini menjadi suaminya. Pandangan pertama, dia merasakan getar aneh yang membuat jantungnya berpacu lebih cepat.
"Kamar pembantu saja," ucap Rita lagi.
Bian mengantarkan Ajeng ke kamar barunya. Netra gadis itu tak henti menatap ruangan yang mewah itu, dia pun juga memuji rumah besar yang kini dia tempati.
"Kamar kamu, maafkan Ibu saya. Maafkan saya tidak bisa membawa kamu tidur di kamar saya."
Ajeng mengerti apa yang dibicarakan Bian. Dia juga bersyukur jika kamar mereka terpisah karena dia juga belum siap satu ruangan dengan pria asing walaupun suaminya sendiri.
"Iya, Mas."
"Kalau ada apa-apa bilang sama saya. Ada urusan penting, jadi saya harus ke luar dulu."
"Iya."
Lalu, Bian ke luar dari kamar Ajeng. Sementara, Ajeng terduduk lesu meratapi takdirnya sekarang. Gadis itu mencoba tidak menangis, ini ujian pikirnya.
Tentang Bian, pria itu telah mencuri hatinya. Walaupun masih belum bisa diterima sebagai seorang istri, Ajeng hanya bisa meratapi hidupnya.
Hanya berada di kamar membuat Ajeng merasa bosan. Untuk menghilangkan kebosanan, dia memilih membantu Mbok Iyem menyiapkan minuman untuk tamu ibu mertuanya.
"Nyonya kok, ndak bilang sama si Mbok, ya, kalau mau bawa orang baru?"
"Ajeng nggak tahu, Mbok."
Wanita tua itu berpikir jika Ajeng pembantu baru yang sengaja di jadikan teman untuk dia mengurus rumah besar itu.
"Ya, sudah. Bawa ini ke depan," ujar Mbok Iyem.
Ajeng bergegas membawakan nampan berisi air minum dan makanan untuk tamu Rita.
“Dia siapa?” tanya Sista, salah satu teman arisan Rita.
Rita melirik Ajeng yang sedang menaruh minuman di meja. “Oh, pembantu baru. Maklum, rumah ini, kan, besar. Aku tambah buat nemenin Mbok Iyem."
Ajeng tak kuasa mendengar ucapan Rita. Dia meremas dada yang terasa nyeri dengan penuturan wanita cantik itu tadi. Gadis berusia dua puluh tahun itu berjalan gontai menuju dapur. Ajeng terkesiap kaget, saat Rita menarik kasar lengannya.
“Sa--sakit, Mih,” rintih Ajeng.
“Jangan sekali-kalinya kamu panggil saya dengan sebutan Mami. Panggil saya Nyonya Rita, karena saya tidak sudi mempunyai menantu seperti kamu. Ingat Ajeng, kamu hanya pantas menjadi pembantu.
Ajeng mencoba menahan emosi. Dia meremas dada yang begitu sesak saat mendengar penuturan ibu mertuanya. Tak pernah membayangkan jika dia akan memiliki mertua seperti Rita.
“Satu hal lagi, jangan mencoba menggoda anakku Bian. Kamu paham maksud saya, bukan?”
“Paham, Nyonya.”
Ajeng hanya menunduk saat Rita merendahkannya. Gadis itu kembali mengingat saat kejadian naas yang terjadi pada sang ibu malam itu, hingga membuat dia menjadi istri Bian.
“Ibunya meninggal, kamu harus bertanggung jawab,” ujar kepala desa.
“Baik, perlu uang berapa dia?” tanya Bian.
“Bukan berupa uang, tapi tanggung jawab degan menafkahinya seumur hidup. Kamu nikahi dia, karena Ajeng sebatang kara.”
Bian terbelalak mendengar penuturan kepala desa. Bagaimana bisa dia menikahi gadis yang tak dia kenal. Bian mencoba bernegosiasi, tetapi mereka tak mau hanya dengan uang tiap bulan yang diberikannya. Pria dengan hidung mancung itu mengusap wajah kasar. Tak ada pilihan lain, akhirnya dia menikah dengan Ajeng.
Tepukan kasar di punggung Ajeng membuyarkan lamunannya. Rita sudah bertolak pinggang di hadapan Gadis itu. Ibu dari suaminya, sama sekali tidak menyukai kehadiran dia di rumah megah itu.
“Bian itu sudah punya calon istri yang cantik, pintar, dan kaya. Jadi, jangan pernah berpikir kamu menjadi Nyonya rumah. Ingat, pernikahan kamu dan Bian hanya beberapa bulan saja. Setelah itu, kamu harus pergi.”
“Ba--baik, Nyonya.”
“Bagus.”
Rita melenggang meninggalkan Ajeng yang masih menundukkan wajah. Tanpa terasa bulir bening di matanya tumpah membasahi pipi mulus itu. Dia menyeka sudut mata, perih itu kini menjalar keseluruh tubuh.
Ajeng memilih masuk ke kamar, dari pada mendengarkan celotehan Rita yang begitu menyakitkan baginya. Harusnya dia masih bisa bersama dengan sang ibu, tetapi semuanya berlalu begitu saja. Kembali dia merasakan pilu, cercaan Rita membuatnya lagi-lagi mengeluarkan air mata.***
Deru mobil Bian terdengar di halaman rumah. Ajeng yang sedang menyiram bunga hanya bisa memperhatikan sang suami tanpa bisa mendekatinya. Rita sudah bilang jika dirinya tidak boleh berdekatan dengan anak laki-lakinya.
Fokusnya tak bisa hilang dari wajah tampan pemuda yang menjadi suaminya itu. Akan tetapi, sikap dingin Bian membuat Ajeng menggelengkan kepala untuk menghilangkan bayangan sang suami.
"Jeng," sapa Bian saat melewati Ajeng.
“Iya, Mas Bian.”
Ajeng terperangah melihat wanita yang bersama Bian. Di teringat ucapan Rita jika Bian sudah memiliki tunangan.
"Sayang, dia pembantu baru?"
Terasa sesak di dada, saat wanita lain memanggil suaminya dengan kalimat sayang. Belum lagi sebutan pembantu untuknya, menambah derita di dalam hati Ajeng.
"Sayang, kok diam saja? Dia siapa?"
Post a Comment