Cerpen
Walaupun sebagian penghuninya sudah memeluk agama samawi, tetapi karena masih bercampurnya dengan kepercayaan Animisme dan Dinamisme, jadi masih banyak yang menganggap, agama itu hanya sebagai penanda sebuah identitas diri yang tercatat di pencatatan negara, tidak lebih dari itu, dan segala perbuatan yang di anggap dosa besar, adalah sebuah hal yang lumrah di kampung tersebut.
Hingga beberapa lama, aku dan Iroh, masih saling terdiam. Tersibukan dengan pemikiran kami masing-masing, saling duduk termenung di pinggiran teras. Menghadap kererimbunan pepohonan di halaman samping rumah Iroh, hingga terdengar suara salam seorang pria muda.
"Assalamualaikum."
Kupastikan itu suara Zulham, yang terdengar dari arah belakangku, lalu kenapa badanku malah jadi gemetar begini?
"Waalaikum salam," hampir berbarengan aku dan Iroh menjawab salam Zulham, tubuhku masih gemetar, terlebih lagi debar jantungku. Keberanian yang tadi di awal saatku akan mendekatinya, kini hilang entah kemana. Perlahan, aku mencoba untuk menguasai diri.
Iroh pun berdiri, dan aku mengikuti, pemuda bernama Zulham itu menolak secara halus, saat Iroh mencoba untuk bersalaman, tetapi senyum di wajahnya terus mengembang.
"Perkenalkan, nama saya Zulham, saya baru beberapa hari tinggal di desa ini," ucapnya memperkenalkan diri.
"Iya, kami berdua sudah tahu, kamu anaknya Kang Danu, kan?" tanya Iroh, Zulham hanya mengangguk, mengiyakan.
"Perkenalkan, aku Iroh, dan ini Sarah, ini rumahku, sedangkan rumah Sarah tidak jauh dari sini, tepat di depan toko isi ulang milik Mak Neti," jelas Iroh, dan aku hanya terdiam saja, masih mencoba menguasai debar jantung yang malah semakin berdetak semakin kencang.
"Oh, berarti Sarah, adiknya Astuti yah?" tanya Zulham, meyakinkan. Aku mengangguk.
'Kenapa semakin dekat, malah semakin ganteng ya' hatiku membathin.
"Kak Zulham kenal dengan kak Astuti?" tanyaku memberanikan diri, tapi aku langsung menunduk, tidak berani menatap wajahnya.
"Saya dulu kan pernah tinggal di kampung ini sampai umur tujuh tahun, sebelum orang tua saya berpisah, dan saya ikut sama ibu. Astuti itu teman main semasa kecil, sepertinya kami juga seumuran," jelas Zulham.
"Kak Zulham suara mengajinya bagus," puji Iroh, Zulham hanya tersenyum, dan aku tidak suka dari cara Iroh memuji Zulham, sekali lagi ini sebuah rasa yang aneh.
"Ajarkan kami mengaji, Kak," pintaku pada Zulham, Iroh pun mengangguk.
"Kalian berdua belum bisa mengaji?" tanya Zulham, seperti tidak percaya.
"Belum, Kak Zulham," jawab Iroh.
"Di sini mau ngaji di mana, Kak, yang mau mengajarkan pun tidak ada." Aku melanjutkan ucapan Iroh. Zulham terlihat menarik napas panjang. "Kapan kampung ini akan berubah," ucapnya pelan, tetapi aku mendengarnya, dan kuyakin Iroh pun ikut mendengarkan juga.
"Kak, dari pada kita hanya berdiri di teras ini, kita ngobrol-ngobrol di bale sana saja yuk, adem lagi," ajak Iroh, sembari menunjuk sebuah bale terbuat dari bambu yang tepat ada di bawah sebuah pohon rambutan yang besar dan rindang, masih di dalam kebun milik orang tua Iroh. Zulham tersenyum.
"Boleh, ucapnya. "Aku pun merasa kesepian, belum punya teman di sini," ucapnya lagi.
"Ya sudah, Kak Zulham dan Sarah duluan ke sana, Ya, aku buatkan es teh dulu di dalam." Iroh langsung saja ke dalam rumah. Zulham berjalan mendahului, dan aku mengikuti di belakangnya. Terduduk kami bersisian, walaupun masih berjarak, tetapi debar jantungku masih saja bergejolak.
"Sarah masih bersekolah?" tanya Zulham, menoleh ke arahku.
"Masih, Kak," jawabku, lalu kembali terdiam.
"Kelas berapa, Rah?" tanyanya lagi.
"Mau naik kelas tiga, Kak," jawabku lagi.
Pasti lulus sekolah, akan langsung menikah yah?" Zulham tersenyum, lalu tertawa kecil. Ucapan Zulham ada benarnya juga, di kampungku ini, memang pernikahan di lakukan di usia muda sekali, Kak Niken dan Kak Astuti pun sudah berstatus janda, mereka menikah di usia 14 dan 15 tahun. Tetapi pernikahan mereka tidak berlangsung lama.
Angka perceraian di kampung kami memang terbilang sangat tinggi, terkadang aku pun berpikir, pernikahan di sini hanya seperti ajang main-main, dan bukan sesuatu yang sakral.
Perempuan bersuami melayani pria lain di kampung kami sudah hal yang biasa. Sepengetahuan dan seijin suaminya, bahkan, melakukannya di rumah dan di ranjang mereka, yang terpenting ada materi yang didapatkan.
Wanita-wanita bersuami di kampungku ini , saingan buat freelance semacam Astuti kakakku, dan Teh Asmunah anak Mak Teti. Tinggal serumah tanpa suatu ikatan yang resmi pun sudah biasa terjadi di sini, orang-orang kota bahkan dengan penduduk luar perkampungan kami, tidak akan ada pergunjingan tentang amoral dan norma yang dilanggar, ataupun akan di grebek warga. Percumbuan yang dilakukan di teras-teras rumah adalah sesuatu yang lumrah. Perdukunan pun marak di desa ini. Kampungku, Iroh dan Zulham memang tempat pemukiman yang luar biasa.
"Kak, boleh aku bertanya?" tanyaku pada Zulham.
"Mau tanya apa, Rah." Zulham kembali menoleh ke arahku.
"Perbuatan yang dilakukan sebagian besar wanita-wanita di desa ini, memang dosa besar ya, Kak?" tanyaku. Zulham kembali tersenyum.
"Benar, Rah, berhubungan intim dengan yang bukan pasangan halalnya memang suatu dosa besar," terang Zulham.
"Jadi benar ya, Kak. Jika nanti di neraka akan di siksa dengan siksaan yang pedih?" tanyaku lagi.
"Iya, itu benar Rah." Zulham kembali menarik napas dalam, dan mengembuskannya perlahan.
"Allah juga akan mencabut, cahaya keimanan dalam diri orang-orang yang suka berzinah, Nauzubillah min dzalik. Zulham kembali terdiam.
"Aku benar-benar tidak menyangka, Rah. Jika kampung kelahiranku ini bisa serusak ini, bahkan bapakku sendiri yang jadi salah satu pelaku dan dedengkotnya." Zulham lantas berdiri, tidak lama Iroh keluar dari dalam rumah dengan membawa teko dan beberapa gelas, juga ada ubi rebus di atas sebuah nampan plastik.
"Aku takut, malah aku sendiri yang akan terpengaruh oleh lingkungan di sini, kampung ini benar-benar surga maksiat," keluh Zulham.
Iroh sudah semakin mendekati kami.
"Kamu juga sudah dipersiapkan ya, Rah?"
"Kamu mau melakukannya, Sarah?"
"Kak Zulham, Sarah, yuk diminum dulu es teh manisnya."
"Terima kasih ya, Roh," ucap Zulham, lalu menuangkan teko berisi air teh dingin itu ke dalam gelas dan meminumnya perlahan, aku pun melakukan hal yang sama.
"Ubi rebusnya dimakan, Kak," tawar Iroh, Zulham mengangguk lalu mengambil ubi rebus yang sudah dihidangkan Iroh, dan mengunyahnya pelan saja.
"Kak?" tanya Iroh, kepada Zulham.
"Kenapa, Roh." Iroh terdiam sejenak, sepertinya dia ragu-ragu untuk memulai pertanyaan.
" Tanya saja, Roh, tidak apa-apa," jelas Zulham.
"Hmm ... jika kita sudah berbuat dosa besar, apakah Allah akan mengampuni dosa-dosa kita, Kak?
"Tentu saja, Roh. Allah itu Tuhan yang maha pengampun, asal kamu mau bertobat, dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi." Zulham kembali meminum es tehnya.
"Jika kita melakukannya karena keinginan orang tua bagaimana, Kak? Bukannya kita harus berbakti kepada kedua orang tua kita?" kali ini aku yang bertanya. Zulham menoleh ke arahku, sembari tersebut. Rasanya wajah ini bersemburat merah karena malu dan grogi.
"Berbakti kepada orang tua itu memang sebuah kewajiban, Rah. Tidak membangkang, tidak berbicara kasar, dan selalu menuruti perintahnya, tetapi tidak, jika kita disuruh berbuat dosa ataupun berbuat sesuatu yang dilarang Agama, kita wajib menolaknya. Karena di atas mengikuti perintah orang tua, mengikuti perintah Allah, itu yang paling utama." Panjang lebar Zulham menjelaskan kepada aku dan Iroh.
"Jadi, jika perbuatan itu dilarang dalam agama,. Kita berhak untuk menolak ya, Kak?" kali ini Iroh yang kembali bertanya.
"Iya, Roh. Kita berhak menolak permintaannya, tetapi tetap harus dilakukan dengan cara yang baik yah," jawab Zulham.
"Lalu bagaimana cara kita melawan, Ka? Kita hanya anak-anak yang tidak punya daya dan upaya," ujarku lirih.
"Pertanyaan itu pun, tepat jika ditujukan kepadaku, Rah," jawab Zulham, kembali diam termenung.
"Kenapa kita harus terlahir dan tinggal di kampung ini ya, Kak. Dikampung yang semuanya terlihat rusak," keluh Iroh.
"Kita bicara tentang hal lain saja ya," cetukku, mencoba mengalihkan pembicaraan ke arah lain. Tetapi, Zulham dan Iroh masih diam saja.
"Aku jadi merasa kotor," ujar Iroh. Zulham lalu berdiri, dia pun sepertinya masih terlihat bingung dengan permasalahan yang dihadapinya.
"Kak, ajari aku dan Iroh mengaji, ya," pintaku pada Zulham.
"Tetapi jika bisa, jangan di musholla ini, mungkin emakku tidak akan mengijinkan," keluh Iroh.
"Boleh, Kak Zulham bersedia, besok kita bertemu lagi di sini, nanti kita bicarakan lagi ya," ujarnya. "Dan sekarang, kakak ijin pulang dahulu." Zulham mengangguk pelan kepada aku dan Zahra, lalu segera beranjak pergi.
"Aku juga balik dulu ya, Roh," pamitku pada Iroh.
Iroh mendekat, dan memegang kedua bahuku.
"Jika bisa, jangan seperti aku, Rah," harapnya. Aku hanya diam, dan segera berbalik badan meninggalkan Iroh untuk kembali pulang.
^^ Apa aku bisa mengecewakan, emak^^ sepanjang jalan pulang, bathinku terus saja berperang.
^^Kenapa kakak-kakakku rela-rela saja melakukannya^^
" Hayooo....!
Teriakan Dito yang tiba-tiba ada di hadapanku benar-benar membuatku tersentak. Entahlah, aku tidak suka pemuda ini. Seringkali memanfaatkan kekayaan dan kedudukan orang tuanya sebagai kepala desa, bersikap dan berperilaku seenaknya.
"Permisi, aku sedang buru-buru," ucapku ketus, sembari menyingkirkan tangannya yang coba-coba menghalangiku.
"Kenapa buru-buru adik cantik, aku ini calon suamimu loh," rayunya, sembari menjawil daguku. Kurang ajar sekali manusia ini.
"Sudah jangan macam-macam! Aku nggak suka ya, kamu bersikap konyol macam gini!" bentakku kepada Dito. Beberapa orang yang lewat hanya sekilas memperhatikan, lalu kembali bersikap tidak mau tahu. Dito semakin merapatkan tubuhnya ke arahku.
"Minggir, Nggak!" Kudorong tubuh Dito agar menjauh, tetapi tenagaku tidak berarti banyak buat tubuh kokohnya. Dipegangnya kedua tanganku dan ditarik mendekati tubuhnya, lalu kedua tangannya mendekap cepat. Aku meronta-ronta berusaha berontak untuk melepaskan.
"Kurang ajar, kamu Dito! Wajahnya bahkan semakin mendekati wajahku, berusaha untuk menciumiku.
"Sudah diam, sama-sama enak, gak usah munafik." Matanya terlihat nanar, dan dari mulutnya tercium bau minuman beralkohol.
Aku terus berusaha memberontak, saat kulihat sebuah tangan, merengkuh bahu Dito dari belakang, lalu menghentakkannya, menjauhkan tubuh Dito dari tubuhku, hingga membuat anak si kepala desa itu hingga terjatuh di lantai.
"Zulham," ucapku pelan. Zulham lalu berdiri membelakangiku, bersikap seperti orang yang hendak melindungi, dan aku bersembunyi di belakang tubuhnya.
"Tidak baik menggoda dan bersikap kurang ajar sama perempuan, Bos," sindir Zulham kepada Dito, yang masih terduduk di tanah. Dito perlahan mulai berdiri, matanya menatap Zulham dengan penuh kemarahan.
"Nggak usah ikut campur ya," ucap Dito, telunjuknya mengarah tepat ke muka Zulham.
"Bukan ikut campur, hanya tidak pantas saja," jelas Zulham. Masih terus menutupi dan melindungi tubuhku. Dito sepertinya tidak berani untuk mendekati, karena sepertinya keberaniannya baru ada jika di antara bapaknya dan. teman-teman begundalnya.
"Awas yah, tunggu saja nanti," ancamnya kepada Zulham
"Baik, akan saya tunggu," jawab Zulham. Semakin sempurna nilai pemuda tampan ini di mataku. Netraku terus menatap dan memperhatikan Dito yang berjalan sempoyongan dari balik punggung Zulham, tidak beberapa lama dia berbalik ke arahku yang ada di belakangnya.
"Biar kuantar saja, ya," sarannya, dan aku hanya mengangguk, lalu berjalan bersisian, bahagia rasanya, belum pernah aku merasakan sebahagia ini berdekatan dengan lawan jenis, selain bersama Zulham, apakah aku sedang jatuh cinta?
"Rah?"
"Eh, a-apa, Kak." Aku benar-benar grogi, menjawab pun sedikit tergagap. Zulham lalu menghentikan langkahnya, dan aku pun mengikutinya, kami berdiri berhadap-hadapan.
"Benar itu, Rah. Jika kegadisan diperjualbelikan jika sudah memasuki masa remaja?" Aku terdiam, lalu memberanikan diri menatap matanya, menghela nafas sesaat.
"Iya, Kak, itu memang benar," jawabku, lalu mengalihkan pandangan ke arah rumahku yang sudah terlihat di sebrang jalan. Kulihat, bapak sedang memperhatikan aku juga dari depan teras rumah.
"Kamu juga akan seperti itu, Rah?" tanya Zulham lagi, mata kami saling menatap dalam.
"Aku bisa apa, Kak, selain hanya mengikuti apa perintah Emak." Zulham terdiam, dan akupun lalu meninggalkan Pemuda itu sendirian.
Aku tidak sanggup untuk menoleh lagi. Karena, mungkin Zulham adalah rasa yang tidak mungkin bisa terwujudkan.
Masa depanku, semua sudah diatur oleh emak..........
Oleh: Herman Suhardiman
Desa Penjual Perawan Bagian Ketiga
Desa Penjual Perawan Bagian Ketiga
"Assalamualaikum."
Kupastikan itu suara Zulham, yang terdengar dari arah belakangku, lalu kenapa badanku malah jadi gemetar begini?
"Waalaikum salam," hampir berbarengan aku dan Iroh menjawab salam Zulham, tubuhku masih gemetar, terlebih lagi debar jantungku. Keberanian yang tadi di awal saatku akan mendekatinya, kini hilang entah kemana. Perlahan, aku mencoba untuk menguasai diri.
Iroh pun berdiri, dan aku mengikuti, pemuda bernama Zulham itu menolak secara halus, saat Iroh mencoba untuk bersalaman, tetapi senyum di wajahnya terus mengembang.
"Perkenalkan, nama saya Zulham, saya baru beberapa hari tinggal di desa ini," ucapnya memperkenalkan diri.
"Iya, kami berdua sudah tahu, kamu anaknya Kang Danu, kan?" tanya Iroh, Zulham hanya mengangguk, mengiyakan.
"Perkenalkan, aku Iroh, dan ini Sarah, ini rumahku, sedangkan rumah Sarah tidak jauh dari sini, tepat di depan toko isi ulang milik Mak Neti," jelas Iroh, dan aku hanya terdiam saja, masih mencoba menguasai debar jantung yang malah semakin berdetak semakin kencang.
"Oh, berarti Sarah, adiknya Astuti yah?" tanya Zulham, meyakinkan. Aku mengangguk.
'Kenapa semakin dekat, malah semakin ganteng ya' hatiku membathin.
"Kak Zulham kenal dengan kak Astuti?" tanyaku memberanikan diri, tapi aku langsung menunduk, tidak berani menatap wajahnya.
"Saya dulu kan pernah tinggal di kampung ini sampai umur tujuh tahun, sebelum orang tua saya berpisah, dan saya ikut sama ibu. Astuti itu teman main semasa kecil, sepertinya kami juga seumuran," jelas Zulham.
"Kak Zulham suara mengajinya bagus," puji Iroh, Zulham hanya tersenyum, dan aku tidak suka dari cara Iroh memuji Zulham, sekali lagi ini sebuah rasa yang aneh.
"Ajarkan kami mengaji, Kak," pintaku pada Zulham, Iroh pun mengangguk.
"Kalian berdua belum bisa mengaji?" tanya Zulham, seperti tidak percaya.
"Belum, Kak Zulham," jawab Iroh.
"Di sini mau ngaji di mana, Kak, yang mau mengajarkan pun tidak ada." Aku melanjutkan ucapan Iroh. Zulham terlihat menarik napas panjang. "Kapan kampung ini akan berubah," ucapnya pelan, tetapi aku mendengarnya, dan kuyakin Iroh pun ikut mendengarkan juga.
"Kak, dari pada kita hanya berdiri di teras ini, kita ngobrol-ngobrol di bale sana saja yuk, adem lagi," ajak Iroh, sembari menunjuk sebuah bale terbuat dari bambu yang tepat ada di bawah sebuah pohon rambutan yang besar dan rindang, masih di dalam kebun milik orang tua Iroh. Zulham tersenyum.
"Boleh, ucapnya. "Aku pun merasa kesepian, belum punya teman di sini," ucapnya lagi.
"Ya sudah, Kak Zulham dan Sarah duluan ke sana, Ya, aku buatkan es teh dulu di dalam." Iroh langsung saja ke dalam rumah. Zulham berjalan mendahului, dan aku mengikuti di belakangnya. Terduduk kami bersisian, walaupun masih berjarak, tetapi debar jantungku masih saja bergejolak.
"Sarah masih bersekolah?" tanya Zulham, menoleh ke arahku.
"Masih, Kak," jawabku, lalu kembali terdiam.
"Kelas berapa, Rah?" tanyanya lagi.
"Mau naik kelas tiga, Kak," jawabku lagi.
Pasti lulus sekolah, akan langsung menikah yah?" Zulham tersenyum, lalu tertawa kecil. Ucapan Zulham ada benarnya juga, di kampungku ini, memang pernikahan di lakukan di usia muda sekali, Kak Niken dan Kak Astuti pun sudah berstatus janda, mereka menikah di usia 14 dan 15 tahun. Tetapi pernikahan mereka tidak berlangsung lama.
Angka perceraian di kampung kami memang terbilang sangat tinggi, terkadang aku pun berpikir, pernikahan di sini hanya seperti ajang main-main, dan bukan sesuatu yang sakral.
Perempuan bersuami melayani pria lain di kampung kami sudah hal yang biasa. Sepengetahuan dan seijin suaminya, bahkan, melakukannya di rumah dan di ranjang mereka, yang terpenting ada materi yang didapatkan.
Wanita-wanita bersuami di kampungku ini , saingan buat freelance semacam Astuti kakakku, dan Teh Asmunah anak Mak Teti. Tinggal serumah tanpa suatu ikatan yang resmi pun sudah biasa terjadi di sini, orang-orang kota bahkan dengan penduduk luar perkampungan kami, tidak akan ada pergunjingan tentang amoral dan norma yang dilanggar, ataupun akan di grebek warga. Percumbuan yang dilakukan di teras-teras rumah adalah sesuatu yang lumrah. Perdukunan pun marak di desa ini. Kampungku, Iroh dan Zulham memang tempat pemukiman yang luar biasa.
"Kak, boleh aku bertanya?" tanyaku pada Zulham.
"Mau tanya apa, Rah." Zulham kembali menoleh ke arahku.
"Perbuatan yang dilakukan sebagian besar wanita-wanita di desa ini, memang dosa besar ya, Kak?" tanyaku. Zulham kembali tersenyum.
"Benar, Rah, berhubungan intim dengan yang bukan pasangan halalnya memang suatu dosa besar," terang Zulham.
"Jadi benar ya, Kak. Jika nanti di neraka akan di siksa dengan siksaan yang pedih?" tanyaku lagi.
"Iya, itu benar Rah." Zulham kembali menarik napas dalam, dan mengembuskannya perlahan.
"Allah juga akan mencabut, cahaya keimanan dalam diri orang-orang yang suka berzinah, Nauzubillah min dzalik. Zulham kembali terdiam.
"Aku benar-benar tidak menyangka, Rah. Jika kampung kelahiranku ini bisa serusak ini, bahkan bapakku sendiri yang jadi salah satu pelaku dan dedengkotnya." Zulham lantas berdiri, tidak lama Iroh keluar dari dalam rumah dengan membawa teko dan beberapa gelas, juga ada ubi rebus di atas sebuah nampan plastik.
"Aku takut, malah aku sendiri yang akan terpengaruh oleh lingkungan di sini, kampung ini benar-benar surga maksiat," keluh Zulham.
Iroh sudah semakin mendekati kami.
"Kamu juga sudah dipersiapkan ya, Rah?"
"Kamu mau melakukannya, Sarah?"
"Kak Zulham, Sarah, yuk diminum dulu es teh manisnya."
Desa Penjual Perawan Bagian Keempat
"Ubi rebusnya dimakan, Kak," tawar Iroh, Zulham mengangguk lalu mengambil ubi rebus yang sudah dihidangkan Iroh, dan mengunyahnya pelan saja.
"Kak?" tanya Iroh, kepada Zulham.
"Kenapa, Roh." Iroh terdiam sejenak, sepertinya dia ragu-ragu untuk memulai pertanyaan.
" Tanya saja, Roh, tidak apa-apa," jelas Zulham.
"Hmm ... jika kita sudah berbuat dosa besar, apakah Allah akan mengampuni dosa-dosa kita, Kak?
"Tentu saja, Roh. Allah itu Tuhan yang maha pengampun, asal kamu mau bertobat, dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi." Zulham kembali meminum es tehnya.
"Jika kita melakukannya karena keinginan orang tua bagaimana, Kak? Bukannya kita harus berbakti kepada kedua orang tua kita?" kali ini aku yang bertanya. Zulham menoleh ke arahku, sembari tersebut. Rasanya wajah ini bersemburat merah karena malu dan grogi.
"Berbakti kepada orang tua itu memang sebuah kewajiban, Rah. Tidak membangkang, tidak berbicara kasar, dan selalu menuruti perintahnya, tetapi tidak, jika kita disuruh berbuat dosa ataupun berbuat sesuatu yang dilarang Agama, kita wajib menolaknya. Karena di atas mengikuti perintah orang tua, mengikuti perintah Allah, itu yang paling utama." Panjang lebar Zulham menjelaskan kepada aku dan Iroh.
"Jadi, jika perbuatan itu dilarang dalam agama,. Kita berhak untuk menolak ya, Kak?" kali ini Iroh yang kembali bertanya.
"Iya, Roh. Kita berhak menolak permintaannya, tetapi tetap harus dilakukan dengan cara yang baik yah," jawab Zulham.
"Lalu bagaimana cara kita melawan, Ka? Kita hanya anak-anak yang tidak punya daya dan upaya," ujarku lirih.
"Pertanyaan itu pun, tepat jika ditujukan kepadaku, Rah," jawab Zulham, kembali diam termenung.
"Kenapa kita harus terlahir dan tinggal di kampung ini ya, Kak. Dikampung yang semuanya terlihat rusak," keluh Iroh.
"Kita bicara tentang hal lain saja ya," cetukku, mencoba mengalihkan pembicaraan ke arah lain. Tetapi, Zulham dan Iroh masih diam saja.
"Aku jadi merasa kotor," ujar Iroh. Zulham lalu berdiri, dia pun sepertinya masih terlihat bingung dengan permasalahan yang dihadapinya.
"Kak, ajari aku dan Iroh mengaji, ya," pintaku pada Zulham.
"Tetapi jika bisa, jangan di musholla ini, mungkin emakku tidak akan mengijinkan," keluh Iroh.
"Boleh, Kak Zulham bersedia, besok kita bertemu lagi di sini, nanti kita bicarakan lagi ya," ujarnya. "Dan sekarang, kakak ijin pulang dahulu." Zulham mengangguk pelan kepada aku dan Zahra, lalu segera beranjak pergi.
"Aku juga balik dulu ya, Roh," pamitku pada Iroh.
Iroh mendekat, dan memegang kedua bahuku.
"Jika bisa, jangan seperti aku, Rah," harapnya. Aku hanya diam, dan segera berbalik badan meninggalkan Iroh untuk kembali pulang.
^^ Apa aku bisa mengecewakan, emak^^ sepanjang jalan pulang, bathinku terus saja berperang.
^^Kenapa kakak-kakakku rela-rela saja melakukannya^^
" Hayooo....!
Teriakan Dito yang tiba-tiba ada di hadapanku benar-benar membuatku tersentak. Entahlah, aku tidak suka pemuda ini. Seringkali memanfaatkan kekayaan dan kedudukan orang tuanya sebagai kepala desa, bersikap dan berperilaku seenaknya.
"Permisi, aku sedang buru-buru," ucapku ketus, sembari menyingkirkan tangannya yang coba-coba menghalangiku.
"Kenapa buru-buru adik cantik, aku ini calon suamimu loh," rayunya, sembari menjawil daguku. Kurang ajar sekali manusia ini.
"Sudah jangan macam-macam! Aku nggak suka ya, kamu bersikap konyol macam gini!" bentakku kepada Dito. Beberapa orang yang lewat hanya sekilas memperhatikan, lalu kembali bersikap tidak mau tahu. Dito semakin merapatkan tubuhnya ke arahku.
"Minggir, Nggak!" Kudorong tubuh Dito agar menjauh, tetapi tenagaku tidak berarti banyak buat tubuh kokohnya. Dipegangnya kedua tanganku dan ditarik mendekati tubuhnya, lalu kedua tangannya mendekap cepat. Aku meronta-ronta berusaha berontak untuk melepaskan.
"Kurang ajar, kamu Dito! Wajahnya bahkan semakin mendekati wajahku, berusaha untuk menciumiku.
"Sudah diam, sama-sama enak, gak usah munafik." Matanya terlihat nanar, dan dari mulutnya tercium bau minuman beralkohol.
Aku terus berusaha memberontak, saat kulihat sebuah tangan, merengkuh bahu Dito dari belakang, lalu menghentakkannya, menjauhkan tubuh Dito dari tubuhku, hingga membuat anak si kepala desa itu hingga terjatuh di lantai.
"Zulham," ucapku pelan. Zulham lalu berdiri membelakangiku, bersikap seperti orang yang hendak melindungi, dan aku bersembunyi di belakang tubuhnya.
"Tidak baik menggoda dan bersikap kurang ajar sama perempuan, Bos," sindir Zulham kepada Dito, yang masih terduduk di tanah. Dito perlahan mulai berdiri, matanya menatap Zulham dengan penuh kemarahan.
"Nggak usah ikut campur ya," ucap Dito, telunjuknya mengarah tepat ke muka Zulham.
"Bukan ikut campur, hanya tidak pantas saja," jelas Zulham. Masih terus menutupi dan melindungi tubuhku. Dito sepertinya tidak berani untuk mendekati, karena sepertinya keberaniannya baru ada jika di antara bapaknya dan. teman-teman begundalnya.
"Awas yah, tunggu saja nanti," ancamnya kepada Zulham
"Baik, akan saya tunggu," jawab Zulham. Semakin sempurna nilai pemuda tampan ini di mataku. Netraku terus menatap dan memperhatikan Dito yang berjalan sempoyongan dari balik punggung Zulham, tidak beberapa lama dia berbalik ke arahku yang ada di belakangnya.
"Biar kuantar saja, ya," sarannya, dan aku hanya mengangguk, lalu berjalan bersisian, bahagia rasanya, belum pernah aku merasakan sebahagia ini berdekatan dengan lawan jenis, selain bersama Zulham, apakah aku sedang jatuh cinta?
"Rah?"
"Eh, a-apa, Kak." Aku benar-benar grogi, menjawab pun sedikit tergagap. Zulham lalu menghentikan langkahnya, dan aku pun mengikutinya, kami berdiri berhadap-hadapan.
"Benar itu, Rah. Jika kegadisan diperjualbelikan jika sudah memasuki masa remaja?" Aku terdiam, lalu memberanikan diri menatap matanya, menghela nafas sesaat.
"Iya, Kak, itu memang benar," jawabku, lalu mengalihkan pandangan ke arah rumahku yang sudah terlihat di sebrang jalan. Kulihat, bapak sedang memperhatikan aku juga dari depan teras rumah.
"Kamu juga akan seperti itu, Rah?" tanya Zulham lagi, mata kami saling menatap dalam.
"Aku bisa apa, Kak, selain hanya mengikuti apa perintah Emak." Zulham terdiam, dan akupun lalu meninggalkan Pemuda itu sendirian.
Aku tidak sanggup untuk menoleh lagi. Karena, mungkin Zulham adalah rasa yang tidak mungkin bisa terwujudkan.
Masa depanku, semua sudah diatur oleh emak..........
Reference:
https://read.kbm.id/book/detail/475aa666-e8d5-b673-31ae-f64dcfbbc627?af=186d0231-3e8f-96e4-b05f-6abb72420888
Via
Cerpen
Post a Comment