Cerpen
Walaupun sebagian penghuninya sudah memeluk agama samawi, tetapi karena masih bercampurnya dengan kepercayaan Animisme dan Dinamisme, jadi masih banyak yang menganggap, agama itu hanya sebagai penanda sebuah identitas diri yang tercatat di pencatatan negara, tidak lebih dari itu, dan segala perbuatan yang dianggap dosa besar, adalah sebuah hal yang lumrah di kampung tersebut.
Kehebohan terjadi bukan karena tentang melanggar norma asusila ataupun norma agama, tetapi rasa iri, karena betapa beruntungnya anak si emak mendapatkan pelanggan dari kota besar. Norma agama sudah tidak bernilai di desa ini, semua aspek kehidupan dinilai dari kecukupan materi. Makin banyak perhiasan emas yang sering digunakan, dan dipamerkan, maka akan semakin menaikan derajat si pemakainya.
Begitupun dengan Emakku, ucapan rasa iri pun terlontar dari mulutnya, kenapa tamu-tamu dari kota itu tidak mencari Astuti, kakakku yang juga berprofesi sama dengan Asmunah, Yang sering menerima tamu bermobil dari luar desa, sementara tamunya kakak paling hanya bersepeda motor dan tidak jauh hanya dari warga sekitar kampung tetangga.
Melayani tamu-tamu untuk memuaskan hasrat di rumah sendiri sudah bukan hal yang aneh di desa ini. Bahkan menggunakan kamar pribadi orang tua untuk menyalurkan birahi pun sudah hal yang biasa.
"Pasti si Neti besok mamerin perhiasan barunya lagi," ucap emak ketus, sambil terus memperhatikan tiga gelang emas yang sudah menghiasi lengan kirinya.
"Si Jaja bagaimana itu Tuti! Masa kamu dapat tamunya kelas cere terus, sekali-kali tuh kaya si Munah anaknya si Neti, tamunya selalu orang-orang kota yang bermobil."
Emak terus saja ngegerundel sembari terus mengisap rokoknya. Sementara bapak sudah asyik di ujung teras rumah, bersandar pada sebuah kursi rotan, dengan segelas kopi dan sebungkus rokok kretek murahan, surganya hanya sesederhana itu. Selain judi sabung ayam juga.
"Sudah, kamu pindah saja Tuti, cari tamunya jangan lewat si Jaja lagi, lebih baik lewat si Wawan saja, kaya anaknya si Neti." Emak sambil menyesap kopi hitamnya.
Kakakku Mbak Tuti, selesai berdandan langsung duduk di bangku samping emak, matanya pun mulai memandang ke rumah Mak Neti, tepat di seberang jalan rumah kami.
"Ngga enaklah, Mak, sama Kang Jaja," jawab Tuti, kakakku.
"Nggak enak gimana, tinggal pindah ke Wawan saja ko pakai ga enak," cetuk emak.
"Ya ga bisa maen pindah aja, Mak. Harus ngomong juga sama Kang Jaja," sanggah Tuti, sambil mengambil rokok putih milik emak, dan mulai mengisapnya perlahan.
"Tar emak yang ngomong sendiri sama Jaja, kalau ga bisa datangin tamu seperti Wawan yang dari Jakarta, kamu pindah ke Wawan aja," ujar emak.
"Ya sudahlah, terserah Emak saja," jawab Kak Tuti.
Sementara aku masih sibuk mengerjakan PR, di lantai teras rumah, tidak jauh dari tempat Kak Tuti duduk. Namaku Sarah, aku anak bungsu dari tiga bersaudara, perempuan semua, dan aku masih SMP kelas dua.
Kakakku yang nomor satu, Teh Niken, juga bekerja sebagai Perempuan penghibur di kota besar. Emakku sudah menargetkan uang kiriman yang harus Teh Niken berikan untuknya, lima juta setiap bulannya.
Jika kurang dari itu, Emak akan terus-terusan ngomel di telepon sama Teh Niken, dan hanya aku yang masih mengenyam pendidikan sekolah menengah, teteh-tetehku yang lain hanya sampai lulusan SD.
Entahlah, hal-hal yang dianggap melanggar norma bagi sebagian besar warga kampung kami adalah suatu hal yang biasa.
Para pria-pria dewasa lebih banyak menghabiskan waktunya di judi sabung ayam, dan kampung kami adalah tempat arena sabung ayam terbesar di wilayah ini, sudah berjalan sejakku masih kecil, dan anehnya tidak pernah tersentuh hukum.
Begitupun macam-macam perjudian lainnya yang menggunakan kartu sebagai sarananya, juga judi-judi angka yang bos besarnya ada di luar negeri katanya. Dan emak salah satu penggila judi angka tersebut.
Semacam anak Mak Neti, Teh Asmunah dan kakakku Astuti, termasuk freelance, menerima kunjungan tamu di rumah, bahkan saat melakukannya juga.
Jadi sudah terbiasa bagiku mendengar suara-suara aneh seperti itu. Sementara di ujung keluar kampung kami juga ada tiga bangunan semi permanen, yang memang sudah disiapkan untuk tempat penyaluran hasrat dan minuman keras.
Semua bangunan itu milik Kang Danu, jawara kampung kami, gadis-gadis muda kampung kami tidak di kafe itu, tetapi hanya menunggu di rumah, jika ada tamu yang memesan, baru dari kaki tangannya Kang Danu yang akan menghubungi, setelah sebelumnya mereka menyimpan photo-photonya dan menunjukkan kepada tamu yang datang.
Dan, aku pun sudah dipersiapkan emak untuk menjadi penerus kakak-kakakku nantinya.
Sebagian besar kawan-kawan sepermainanku pun seperti itu, setelah melewati masa haid, emak-emak kami pun sibuk menawarkan, baik lewat perantara calo semacam kang Jaja dan Kang Wawan, bahkan bisa juga langsung ke Kang Danu, hanya jika lewat Kang Danu, potongannya lebih besar dibandingkan lewat calo freelance.
Semenjak usia dini, tidak pernah aku diperkenalkan dengan agama, walaupun kulihat sendiri di KTP bapak dan emak, terisi nama kolom agama di situ.
Hanya ada beberapa warga sekitar yang mengisi satu-satunya musholla di kampung ini, itu pun kebanyakan dari warga pendatang, yang bekerja sebagai petani penggarap di desa kami, karena sebagian besar warga kami sendiri enggan untuk bekerja sendiri, jadi mereka mempekerjakan orang-orang dari luar kampung.
"Sebentar lagi kamu bisa menghasilkan uang Sarah, sudah lama Emak kepingin beli kalung keroncong yang besar, juga dengan bandulnya yang besar, hanya Emak kayanya yang belum punya," ucap emak saat sedang duduk berdua denganku, sembari menunjukkan segala macam jenis perhiasan yang sudah dikoleksinya, dan anehnya semua selalu dipakai jika ingin keluar rumah, bahkan untuk ke warung yang dekat rumah sekalipun.
"Iya, Mak. Nanti aku akan belikan Emak kalung yang paling besar," jawabku, ingin menyenangkan hati Emak.
Hari itu, siang menjelang sore, saat kusedang bermain di rumah Iroh, kawan dekat rumah sebelah satu-satunya musholla di tempat kami, aku mendengar suara orang yang sedang mengaji, suara orang yang belum pernah kudengar, karena selain suara adzan, suara orang mengaji adalah suara yang termasuk langka di desa kami, dan aku tertarik mendengar suaranya, lalu menanyakan itu pada Iroh.
"Itu suara siapa, Roh, ko aku baru dengar suaranya?"
"Itu suara Zulham, Rah, anaknya Kang Danu," jawab Iroh.
"Kang Danu yang preman kampung kita?" tanyaku lagi pada Iroh. Ko aku baru tahu jika Kang Danu punya anak lelaki dewasa, bukannya anak lelakinya masih kecil?" tanyaku lagi pada Iroh.
"Zulham itu anak dari almarhumah istri pertamanya Rah, beda kecamatan dengan kita, sekarang Zulham ini ikut Kang Danu, karena ibunya belum lama meninggal," terang Iroh lagi.
"Suaranya bagus ya, Roh," kataku. Iroh tertawa kecil.
"Orangnya juga ganteng loh, Rah," ujar Iroh. Kita intip yuk, biar kamu ga penasaran." Iroh menarik tanganku, tanpa kusempat menolak, tetapi memang pada dasarnya aku pun sangat penasaran ingin mengetahuinya seperti apa sosok pemilik dari suara merdu tersebut.
Dari kaca jendela, akhirnya aku bisa melihat pemuda tersebut, mungkin sekitar usia delapan belasan, kulitnya bersih, wajahnya bercahaya, dengan hidung mancung, alis tebal, juga rahang yang kokoh, dan ... sepertinya aku jatuh hati pada pandangan pertama.
'Aku ingin belajar mengaji' bisik bathinku.
Zulham sudah selesai membaca kitab suci, sepertinya pemuda tampan itu tahu, jika ada aku dan Iroh yang terus memperhatikan dari kaca jendela.
Zulham langsung menoleh ke arah di mana aku sedang memperhatikannya, mata kami pun langsung bersitatap, dan pemuda itu semakin terlihat cakep saat memberikan senyuman. Aku benar-benar jatuh cinta. Kurasakan paras wajah ini mulai menghangat, dan terasa jantungku berdetak lebih kencang.
Tidak, aku tidak membuang muka, terus saja menatap wajahnya, malah Zulham yang terlihat sekarang menunduk, menutup kitab yang terbuka di atas lekar kayu. Sepertinya aku mewarisi darah emak dan kedua kakak perempuanku, jika mempunyai keberanian dalam menghadapi lawan jenis.
"gadis kampung sini ko dilawan," ucap batinku.
"Kamu mau kemana, Rah?" Jemari Iroh memegang pergelangan tanganku, saat dia melihatku hendak beranjak dari sampingnya.
"Masuk ke dalam, minta diajarkan mengaji," jawabku, polos saja, dan memang niatku langsung ingin ke dalam langgar itu saja menemui Zulham, memintanya untuk mau mengajarkan aku mengaji.
"Malu, Sarahh...." Iroh langsung menarik tanganku, dan menyeretku kembali ke halaman rumahnya.
"Malu kenapa, Roh?"
"Ya, malu lah, kitakan cewek, masa nyamperin cowok duluan," ujar Iroh, jemarinya masih menggenggam pergelangan tanganku. "Lagipula, tujuan kamu apa, mau langsung masuk musholla menemui Zulham."
"Minta diajarkan mengaji, Irohhh..." jawabku sejujurnya. Walaupun, juga ingin berasa lebih dekat dengan Zulham.
"Kamu kan lagi dapet Rah."
"Dapat apa?" tanyaku pada Iroh.
"Tadi kamu bilang, baru dua hari ini, kamu dapat haid." Aku mengangguk, mengiyakan.
"Ya kamu nggak bolehlah memegang Al Qur'an jika sedang dapat," jelas Iroh.
"Kamu kata siapa, Roh?"
"Lihat di YouTube," jawabnya jujur. "Entahlah Rah, sekarang-sekarang ini, aku jadi senang mendengar ceramah agama, walaupun hanya lewat You Tube," jelas Iroh lagi, lalu membuang wajahnya ke arah kebun. Terlihat ke dua sudut netranya sudah mulai meremang.
"Kamu kenapa, Iroh?" tanyaku pelan kepada Iroh.
"Gak pa-pa, Rah," jawabnya, tetapi jemari tangannya mencoba menghapus bening di sudut matanya.
"Aku serius Iroh, ada apa?" tanyaku lagi. Iroh terdiam sejenak, menghela napas dalam, lalu mulai melanjutkan pembicaraan yang sepertinya membuat dia risau.
"Kata ustaz yang kulihat di YouTube, perbuatan warga kampung kita, adalah perbuatan dosa besar, Rah," jelasnya. "Apalagi perbuatan menjual diri, di neraka hukumannya sangat pedih, aku jadi takut Rah," ujar Iroh, suaranya terdengar bergetar, dan entahlah, sekujur tubuhku pun merasa merinding mendengarnya.
"Kata Ustaz tersebut, nanti besi panas api neraka akan ditusukkan ke dalam kem*Luan kita, berulang-ulang, Aku benar-benar takut Sarah." Badan Iroh sekarang yang terlihat bergetar, aku bingung harus bersikap bagaimana, karena aku pun jadi takut karena mendengar cerita Iroh.
"Tapikan Roh, buat nyenangin hati emak, orang yang sudah melahirkan kita, nggak dosa kali Roh, saat sekolah kan, kita diajarkan untuk berbakti sama orang tua," jelasku pada Iroh. Sahabatku itu terdiam, lantas menoleh ke arah ku, kedua matanya masih terlihat berair.
"Gitu ya, Rah?" tanya Iroh untuk lebih memastikan. Aku mengangguk. Mencoba membenarkan tindakan emak-emak kami.
"Tetapi, saat aku belum lama melakukannya, hatiku kenapa terus dihantui rasa bersalah," jelas Iroh. Kawan sepermainan yang sudah putus sekolah.
"Aku memang senang, melihat emakku jadi punya perhiasan emas yang baru, tetapi sampai saat ini, rasa bersalah karena merasa itu perbuatan dosa, ga pernah bisa hilang, Rah," keluh Iroh, aku hanya terdiam, mendengar keluhan hati Iroh. Entahlah, aku sendiri pun merasa, mulai sedikit ada rasa aneh di dalam bathinku.
Tidak lama terdengar suara Adzan Ashar tanpa pengeras suara dari dalam mushalla, yah, langgar satu-satunya di kampung kami ini memang tidak memakai pengeras suara. Jika dulu pernah ada pun, sering hilang, dan kami semua sebenarnya sudah tahu pelakunya tapi membiarkan saja.
"Yang sering membeli secara patungan, orang-orang pekerja lepas di kampung kita, bukan duit kita sendiri, jadi ya biarkan saja." begitu kata Kang Danu, preman kampung kami, bapaknya Zulham. Saat tahu bahwa pencurinya adalah Dito dan beberapa anak buahnya, anak dari kades kami. Remaja yang manja, malah cenderung kurang ajar.dan uang hasil mencuri amplifier pun sepertinya dihabiskan di tempat minuman keras milik Kang Danu.
Tidak ada lagi pembicaraan di antara kami, aku dan Iroh seperti sedang menikmati suara adzan yang diperdengarkan Zulham, alunan adzannya seperti masuk ke dalam relung sanubariku dan Iroh, karena terlihat Iroh sampai memejamkan mata, lalu buliran air bening jatuh dari matanya yang sudah tertutup tersebut. Yah, Iroh memang sudah menjual kegadisannya hampir dua Minggu yang lalu, dan pembelinya adalah oknum aparat dari kecamatan, yang aku tahu juga sering bermain judi sabung ayam di desa kami.
Hingga beberapa lama, aku dan Iroh, masih saling terdiam. Tersibukan dengan pemikiran kami masing-masing, saling duduk termenung di pinggiran teras. Menghadap kererimbunan pepohonan di halaman samping rumah Iroh, hingga terdengar suara salam seorang pria muda.
"Assalamualaikum."
Kupastikan itu suara Zulham, yang terdengar dari arah belakangku, lalu kenapa badanku malah jadi gemetar begini?
Oleh: Herman Suhardiman
Desa Penjual Perawan
Desa Penjual Perawan Bagian Pertama
Selepas maghrib, sebuah mobil bernomor seri plat B berhenti tepat di rumah Mak Neti, dua orang pria pengemudi mobil tersebut mulai masuk ke dalam rumah Mak Neti. Masyarakat sekeliling rumah si mak sudah mulai ramai, karena kedatangan tamu yang berkelas, tamu dari kota, yang ingin menikmati tubuh Asmunah, anak putri Emak Neti.Kehebohan terjadi bukan karena tentang melanggar norma asusila ataupun norma agama, tetapi rasa iri, karena betapa beruntungnya anak si emak mendapatkan pelanggan dari kota besar. Norma agama sudah tidak bernilai di desa ini, semua aspek kehidupan dinilai dari kecukupan materi. Makin banyak perhiasan emas yang sering digunakan, dan dipamerkan, maka akan semakin menaikan derajat si pemakainya.
Begitupun dengan Emakku, ucapan rasa iri pun terlontar dari mulutnya, kenapa tamu-tamu dari kota itu tidak mencari Astuti, kakakku yang juga berprofesi sama dengan Asmunah, Yang sering menerima tamu bermobil dari luar desa, sementara tamunya kakak paling hanya bersepeda motor dan tidak jauh hanya dari warga sekitar kampung tetangga.
Melayani tamu-tamu untuk memuaskan hasrat di rumah sendiri sudah bukan hal yang aneh di desa ini. Bahkan menggunakan kamar pribadi orang tua untuk menyalurkan birahi pun sudah hal yang biasa.
"Pasti si Neti besok mamerin perhiasan barunya lagi," ucap emak ketus, sambil terus memperhatikan tiga gelang emas yang sudah menghiasi lengan kirinya.
"Si Jaja bagaimana itu Tuti! Masa kamu dapat tamunya kelas cere terus, sekali-kali tuh kaya si Munah anaknya si Neti, tamunya selalu orang-orang kota yang bermobil."
Emak terus saja ngegerundel sembari terus mengisap rokoknya. Sementara bapak sudah asyik di ujung teras rumah, bersandar pada sebuah kursi rotan, dengan segelas kopi dan sebungkus rokok kretek murahan, surganya hanya sesederhana itu. Selain judi sabung ayam juga.
"Sudah, kamu pindah saja Tuti, cari tamunya jangan lewat si Jaja lagi, lebih baik lewat si Wawan saja, kaya anaknya si Neti." Emak sambil menyesap kopi hitamnya.
Kakakku Mbak Tuti, selesai berdandan langsung duduk di bangku samping emak, matanya pun mulai memandang ke rumah Mak Neti, tepat di seberang jalan rumah kami.
"Ngga enaklah, Mak, sama Kang Jaja," jawab Tuti, kakakku.
"Nggak enak gimana, tinggal pindah ke Wawan saja ko pakai ga enak," cetuk emak.
"Ya ga bisa maen pindah aja, Mak. Harus ngomong juga sama Kang Jaja," sanggah Tuti, sambil mengambil rokok putih milik emak, dan mulai mengisapnya perlahan.
"Tar emak yang ngomong sendiri sama Jaja, kalau ga bisa datangin tamu seperti Wawan yang dari Jakarta, kamu pindah ke Wawan aja," ujar emak.
"Ya sudahlah, terserah Emak saja," jawab Kak Tuti.
Sementara aku masih sibuk mengerjakan PR, di lantai teras rumah, tidak jauh dari tempat Kak Tuti duduk. Namaku Sarah, aku anak bungsu dari tiga bersaudara, perempuan semua, dan aku masih SMP kelas dua.
Kakakku yang nomor satu, Teh Niken, juga bekerja sebagai Perempuan penghibur di kota besar. Emakku sudah menargetkan uang kiriman yang harus Teh Niken berikan untuknya, lima juta setiap bulannya.
Jika kurang dari itu, Emak akan terus-terusan ngomel di telepon sama Teh Niken, dan hanya aku yang masih mengenyam pendidikan sekolah menengah, teteh-tetehku yang lain hanya sampai lulusan SD.
Entahlah, hal-hal yang dianggap melanggar norma bagi sebagian besar warga kampung kami adalah suatu hal yang biasa.
Para pria-pria dewasa lebih banyak menghabiskan waktunya di judi sabung ayam, dan kampung kami adalah tempat arena sabung ayam terbesar di wilayah ini, sudah berjalan sejakku masih kecil, dan anehnya tidak pernah tersentuh hukum.
Begitupun macam-macam perjudian lainnya yang menggunakan kartu sebagai sarananya, juga judi-judi angka yang bos besarnya ada di luar negeri katanya. Dan emak salah satu penggila judi angka tersebut.
Semacam anak Mak Neti, Teh Asmunah dan kakakku Astuti, termasuk freelance, menerima kunjungan tamu di rumah, bahkan saat melakukannya juga.
Jadi sudah terbiasa bagiku mendengar suara-suara aneh seperti itu. Sementara di ujung keluar kampung kami juga ada tiga bangunan semi permanen, yang memang sudah disiapkan untuk tempat penyaluran hasrat dan minuman keras.
Semua bangunan itu milik Kang Danu, jawara kampung kami, gadis-gadis muda kampung kami tidak di kafe itu, tetapi hanya menunggu di rumah, jika ada tamu yang memesan, baru dari kaki tangannya Kang Danu yang akan menghubungi, setelah sebelumnya mereka menyimpan photo-photonya dan menunjukkan kepada tamu yang datang.
Dan, aku pun sudah dipersiapkan emak untuk menjadi penerus kakak-kakakku nantinya.
Sebagian besar kawan-kawan sepermainanku pun seperti itu, setelah melewati masa haid, emak-emak kami pun sibuk menawarkan, baik lewat perantara calo semacam kang Jaja dan Kang Wawan, bahkan bisa juga langsung ke Kang Danu, hanya jika lewat Kang Danu, potongannya lebih besar dibandingkan lewat calo freelance.
Semenjak usia dini, tidak pernah aku diperkenalkan dengan agama, walaupun kulihat sendiri di KTP bapak dan emak, terisi nama kolom agama di situ.
Hanya ada beberapa warga sekitar yang mengisi satu-satunya musholla di kampung ini, itu pun kebanyakan dari warga pendatang, yang bekerja sebagai petani penggarap di desa kami, karena sebagian besar warga kami sendiri enggan untuk bekerja sendiri, jadi mereka mempekerjakan orang-orang dari luar kampung.
"Sebentar lagi kamu bisa menghasilkan uang Sarah, sudah lama Emak kepingin beli kalung keroncong yang besar, juga dengan bandulnya yang besar, hanya Emak kayanya yang belum punya," ucap emak saat sedang duduk berdua denganku, sembari menunjukkan segala macam jenis perhiasan yang sudah dikoleksinya, dan anehnya semua selalu dipakai jika ingin keluar rumah, bahkan untuk ke warung yang dekat rumah sekalipun.
"Iya, Mak. Nanti aku akan belikan Emak kalung yang paling besar," jawabku, ingin menyenangkan hati Emak.
Hari itu, siang menjelang sore, saat kusedang bermain di rumah Iroh, kawan dekat rumah sebelah satu-satunya musholla di tempat kami, aku mendengar suara orang yang sedang mengaji, suara orang yang belum pernah kudengar, karena selain suara adzan, suara orang mengaji adalah suara yang termasuk langka di desa kami, dan aku tertarik mendengar suaranya, lalu menanyakan itu pada Iroh.
"Itu suara siapa, Roh, ko aku baru dengar suaranya?"
"Itu suara Zulham, Rah, anaknya Kang Danu," jawab Iroh.
"Kang Danu yang preman kampung kita?" tanyaku lagi pada Iroh. Ko aku baru tahu jika Kang Danu punya anak lelaki dewasa, bukannya anak lelakinya masih kecil?" tanyaku lagi pada Iroh.
"Zulham itu anak dari almarhumah istri pertamanya Rah, beda kecamatan dengan kita, sekarang Zulham ini ikut Kang Danu, karena ibunya belum lama meninggal," terang Iroh lagi.
"Suaranya bagus ya, Roh," kataku. Iroh tertawa kecil.
"Orangnya juga ganteng loh, Rah," ujar Iroh. Kita intip yuk, biar kamu ga penasaran." Iroh menarik tanganku, tanpa kusempat menolak, tetapi memang pada dasarnya aku pun sangat penasaran ingin mengetahuinya seperti apa sosok pemilik dari suara merdu tersebut.
Dari kaca jendela, akhirnya aku bisa melihat pemuda tersebut, mungkin sekitar usia delapan belasan, kulitnya bersih, wajahnya bercahaya, dengan hidung mancung, alis tebal, juga rahang yang kokoh, dan ... sepertinya aku jatuh hati pada pandangan pertama.
'Aku ingin belajar mengaji' bisik bathinku.
Desa Penjual Perawan Bagian Kedua
"gadis kampung sini ko dilawan," ucap batinku.
"Kamu mau kemana, Rah?" Jemari Iroh memegang pergelangan tanganku, saat dia melihatku hendak beranjak dari sampingnya.
"Masuk ke dalam, minta diajarkan mengaji," jawabku, polos saja, dan memang niatku langsung ingin ke dalam langgar itu saja menemui Zulham, memintanya untuk mau mengajarkan aku mengaji.
"Malu, Sarahh...." Iroh langsung menarik tanganku, dan menyeretku kembali ke halaman rumahnya.
"Malu kenapa, Roh?"
"Ya, malu lah, kitakan cewek, masa nyamperin cowok duluan," ujar Iroh, jemarinya masih menggenggam pergelangan tanganku. "Lagipula, tujuan kamu apa, mau langsung masuk musholla menemui Zulham."
"Minta diajarkan mengaji, Irohhh..." jawabku sejujurnya. Walaupun, juga ingin berasa lebih dekat dengan Zulham.
"Kamu kan lagi dapet Rah."
"Dapat apa?" tanyaku pada Iroh.
"Tadi kamu bilang, baru dua hari ini, kamu dapat haid." Aku mengangguk, mengiyakan.
"Ya kamu nggak bolehlah memegang Al Qur'an jika sedang dapat," jelas Iroh.
"Kamu kata siapa, Roh?"
"Lihat di YouTube," jawabnya jujur. "Entahlah Rah, sekarang-sekarang ini, aku jadi senang mendengar ceramah agama, walaupun hanya lewat You Tube," jelas Iroh lagi, lalu membuang wajahnya ke arah kebun. Terlihat ke dua sudut netranya sudah mulai meremang.
"Kamu kenapa, Iroh?" tanyaku pelan kepada Iroh.
"Gak pa-pa, Rah," jawabnya, tetapi jemari tangannya mencoba menghapus bening di sudut matanya.
"Aku serius Iroh, ada apa?" tanyaku lagi. Iroh terdiam sejenak, menghela napas dalam, lalu mulai melanjutkan pembicaraan yang sepertinya membuat dia risau.
"Kata ustaz yang kulihat di YouTube, perbuatan warga kampung kita, adalah perbuatan dosa besar, Rah," jelasnya. "Apalagi perbuatan menjual diri, di neraka hukumannya sangat pedih, aku jadi takut Rah," ujar Iroh, suaranya terdengar bergetar, dan entahlah, sekujur tubuhku pun merasa merinding mendengarnya.
"Kata Ustaz tersebut, nanti besi panas api neraka akan ditusukkan ke dalam kem*Luan kita, berulang-ulang, Aku benar-benar takut Sarah." Badan Iroh sekarang yang terlihat bergetar, aku bingung harus bersikap bagaimana, karena aku pun jadi takut karena mendengar cerita Iroh.
"Tapikan Roh, buat nyenangin hati emak, orang yang sudah melahirkan kita, nggak dosa kali Roh, saat sekolah kan, kita diajarkan untuk berbakti sama orang tua," jelasku pada Iroh. Sahabatku itu terdiam, lantas menoleh ke arah ku, kedua matanya masih terlihat berair.
"Gitu ya, Rah?" tanya Iroh untuk lebih memastikan. Aku mengangguk. Mencoba membenarkan tindakan emak-emak kami.
"Tetapi, saat aku belum lama melakukannya, hatiku kenapa terus dihantui rasa bersalah," jelas Iroh. Kawan sepermainan yang sudah putus sekolah.
"Aku memang senang, melihat emakku jadi punya perhiasan emas yang baru, tetapi sampai saat ini, rasa bersalah karena merasa itu perbuatan dosa, ga pernah bisa hilang, Rah," keluh Iroh, aku hanya terdiam, mendengar keluhan hati Iroh. Entahlah, aku sendiri pun merasa, mulai sedikit ada rasa aneh di dalam bathinku.
Tidak lama terdengar suara Adzan Ashar tanpa pengeras suara dari dalam mushalla, yah, langgar satu-satunya di kampung kami ini memang tidak memakai pengeras suara. Jika dulu pernah ada pun, sering hilang, dan kami semua sebenarnya sudah tahu pelakunya tapi membiarkan saja.
"Yang sering membeli secara patungan, orang-orang pekerja lepas di kampung kita, bukan duit kita sendiri, jadi ya biarkan saja." begitu kata Kang Danu, preman kampung kami, bapaknya Zulham. Saat tahu bahwa pencurinya adalah Dito dan beberapa anak buahnya, anak dari kades kami. Remaja yang manja, malah cenderung kurang ajar.dan uang hasil mencuri amplifier pun sepertinya dihabiskan di tempat minuman keras milik Kang Danu.
Tidak ada lagi pembicaraan di antara kami, aku dan Iroh seperti sedang menikmati suara adzan yang diperdengarkan Zulham, alunan adzannya seperti masuk ke dalam relung sanubariku dan Iroh, karena terlihat Iroh sampai memejamkan mata, lalu buliran air bening jatuh dari matanya yang sudah tertutup tersebut. Yah, Iroh memang sudah menjual kegadisannya hampir dua Minggu yang lalu, dan pembelinya adalah oknum aparat dari kecamatan, yang aku tahu juga sering bermain judi sabung ayam di desa kami.
Hingga beberapa lama, aku dan Iroh, masih saling terdiam. Tersibukan dengan pemikiran kami masing-masing, saling duduk termenung di pinggiran teras. Menghadap kererimbunan pepohonan di halaman samping rumah Iroh, hingga terdengar suara salam seorang pria muda.
"Assalamualaikum."
Kupastikan itu suara Zulham, yang terdengar dari arah belakangku, lalu kenapa badanku malah jadi gemetar begini?
Reference:
https://read.kbm.id/book/detail/475aa666-e8d5-b673-31ae-f64dcfbbc627?af=186d0231-3e8f-96e4-b05f-6abb72420888
Via
Cerpen
Post a Comment